Thursday, December 26, 2013

Liga Bangsa-Bangsa




LBB (LIGA BANGSA-BANGSA)

 
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang mengatur  Semesta alam yang mana atas Hidayah, Inayah dan Karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hubungan Internasional Selaku Dosen mata kuliah yaitu bapak Drs. Mohammad Maiwan, M.Si. paper ini membahas tentang Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Paper ini dibuat berdasarkan sistematika penulisan yang ditentukan. Dalam Paper ini penulis mengkaji materi dari berbagai sumber yang diketahui. Paper ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan dan wawasan yang luas bagi para mahasiswaa mengenai Liga-Liga Bangsa.
            Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi yang positif. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan paper ini yang jauh dari kesempurnaan tetapi hal itu tidaklah disengaja, karena itulah kemampuan dan keterbatasan ilmu penulis. “Tak ada gading yang tak retak” oleh sebab itu , saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis .
Kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu atas selesainya paper ini. Semoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan kemudahan dan keikhlasan kepada kita semua untuk menyambut masa depan esok yang cerah dan lebih baik, amin.

Jakarta, 11 November 2013

Penulis





DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN        ....................................................................         1
BAB II PEMBAHASAN                   ....................................................................         2
BAB IIIANALISIS        ...............................................................................       6
DAFTAR PUSTAKA   








BAB I PENDAHULUAN
Pada masa Perang Dunia I, dunia mengalami suatu peristiwa yang sangat dramatis menyangkut peradaban manusia, dimana perang tersebutlah telah mengakibatkan korban yang besar. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan perlengkapan dan senjata tempur yang efektif. Perang Dunia I telah memasuki babak baru kemajuan teknologi, khususnya persenjataan dan sistem angkutan atau logistik yang sudah mengenal kapal mesin dan kereta api.
Dalam masa Perang Dunia I ini muncul dua fenomena sekaligus, yaitu pada satu sisi, meningkatnya semangat nasionalisme dan patriotisme dan segala upaya untuk mendorong usaha pemenang perang. Semangat ini sering kali memicu semangat berperang juga menambah rasa kebencian dan permusuhan antar pihak yang berkonflik. Sedang sisi lain mulai muncul usaha-usaha yang kuat untuk menghentikan permusuhan dan kebencian, serta usaha mencegah munculnya perang kembali. Walaupun tidak semua tokoh masyarakat dan pemimpin dunia percaya, bahwa kerjasama internasional sebagai jalan terbaik (best way) untuk dapat mencegah perang atau bahkan menghilangkan perang di masa depan.
Sejak pecahnya Perang Dunia I yang memilukan karena menelan banyak korban, ada banyak optimisme bahwa organisasi internasional dapat memecahkan konflik militer, dapat mencegah perang. Oleh karena itu ada upaya-upaya kerjasama internasional mencegah san menghilangkan perang. Namun akibat adanya kekuatan-kekuatan kontradiktif dari semangat nasionalisme, warisan “kebencian” perang dan sebagainya, usaha ini tidak mudah.Bahkan sebagian semangat tersebut masih terus terbawa ke dalam organisasi internasional yang kemudian terbentuk. Tidak ada pemimpin negara-negara nasional yang bersedia menyerahkan sebagian kewenangan dan kedaulatannya kepada organisasi internasional berkait isu-isu yang berhubungan dengan persoalan nasionalisme. Jadinya organisasi internasional global ini seolah-olah tanpa kekuatan riil, tanpa kemampuan kekuasaan (toothless international organizazitions). Disamping itu juga mekanisme pengaturan yang cenderung menguntungkan pada pihak pemenang PD I dan cenderung tidak ramah terhadap bekas musuh dalam PD I, mengakibatkan tidak ada semangat merangkul semua pihak, termasuk musuh dalam PD I.
Beberapa pengaturan yang tidak kondusif bagi pengelolaan perdamaian yang langgeng, antara lain: Pertama, pihak negara-negara musuh dalam PD I tidak diterima menjadi anggota, dan baru dapat diterima jadi anggota hanya apabila direkomendasikan oleh negara-negara besar sekutu. Kedua, Dominasi negara-negara besar diproteksi melalui mekanisme sebagai anggota tetap dan mencegah pemberian sanksi bagi negara-negara besar, dengan ditetapkan sebagai anggota tetap Liga Bangsa Bangsa, dan punya hak veto yang dapat membatalkan putusan-putusan yang diambil dari sidang-sidang LBB. Negara-negara besar seperti Inggris, mendiktekan kekuasaan untuk pendudukan (penyelesaian) bekas-bekas tanah jajahan atau wilayah dibawah pengaruh negara-negara yang kalah perang. Proses perdamaian masih saja menyisakan berbagai mekanisme perubahan damai yang kurang memuaskan dan sanksi-sanksi militer masih dipergunakan, meski kadang tidak efektif, senantiasa ada harapan bahwa organisasi internasional baru dapat membantu mencegah konflik bersenjata.
BAB II PEMBAHASAN
Sejarah Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa
Liga Bangsa-Bangsa (LBB-League of Nations) didirikan sebagai hasil dari perjanjian Versailes. Setelah  Jerman dan pendukungnya menyerah kepada sekutu pada November 1918 yang menandakan berakhirnya Perang Dunia I. Negara-negara pemenang perang menyelenggarakan konferensi di Paris pada 28 Juni 1919.  Konferensi tersebut dihadiri oleh 70 delegasi yang mewakili 27 negara pemenang.
Perjanjian Paris yang ditandatangan di Versailles (Perjanjian Versailles) tersebut merupakan kunci bagi terciptanya perdamaian. Para delegasi menaruh harapan yang besar pada konferensi tersebut untuk menciptakan perdamaian dunia. Harapan-harapan tersebut sesuai dengan gagasan Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson yang telah diucapkan pada 8 Januari 1918. Pada bulan ini, Wilson mengajukan empat belas usulan (Wilson Fourteen Point) yang isinya antara lain sebagai berikut:
1.      Pelarangan diplomasi rahasia
2.      Pengurangan senjata.
3.      Pengakuan hak untuk menentukan nasib sendiri.
4.      Pembentukan suatu badan gabungan bangsa-bangsa, yang kemudian dikenal dengan nama LBB (Liga Bangsa-Bangsa)



Tujuan Pembentukan LBB
Liga Bangsa Bangsa beranggotakan 28 negara sekutu dan 14 negara netral. Tujuan pembentukan LBB pada waktu itu adalah untuk:
1.      Memelihara perdamaian dan keamanan dunia
2.      Memajukan dan memelihara hubungan persahabtan antarbangsa dan negara.
3.      Menegakan hukum serta berusaha agar perjanjian antar bangsa dipatuhi.
4.      Memajukan dan memelihara kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan.
Sifat Dan Tugas LBB
1)      Merupakan badan untuk pemeliharaan perdamaian dan menjadi badan pengawas daerah perwalian atau daerah mandat LBB.
2)      Merupakan badan untuk mencegah perang dan menyelesaikan perselisihan secara damai.
3)      Berusaha mengatasi masalah yang menyangkut ancaman perang.
4)      Berusaha mengintegrasikan dan mengoordinasikan lembaga-lembaga internasional yang sudah ada.
5)      Berusaha meningkatkan kerja sama dalam lapangan kesehatan, social, keuangan, pengangkutan, perhubungan, dan lain-lain.
6)      Memberikan perlindungan terhadap bangsa-bangsa minoritas.
Kegagalan LBB Setelah berjalan beberapa puluh tahun, ternyata liga bangsa-bangsa tidak mampu menciptakan perdamaian. LBB tidak banyak memberikan banyak harapan. Pada saat itu terjadi pertikaian internasional dan liga bangsa-bangsa tidak dapat menyelesaikannya sehingga terjadi perang dunia II.
Struktur Organisasi
Organ Inti dari LBB yaitu:
Dewan Keamanan Anggota yang terdiri atas empat anggota permanen, yaitu Inggris, Perancis, Italia dan Jepang.
Sekertaris bertugas untuk menyiapkan agenda dan mengumumkan laporan pertemuan.
Majelis Umum, majelis yang melakukan pertemuan setahun sekali, anggotanya adalah perwakilan dari negara anggota dan pergantiannya tiga tahun sekali.
Mekanisme Kerja
Dalam mengatur keuangannya, majelis umum LBB memiliki enam komite, di mana komite kelimalah yang memiliki wewenang untuk mengatur anggaran dan keuangan. Komite ini melakukan drafting yang diajukan ke majelis umum, kemudian disepakati oleh anggota dari LBB. Setelah disepakati, maka anggota LBB harus membayar sejumlah yang disepakati.
Perbedaan PBB dan Liga Bangsa-Bangsa
Pembubaran Liga Bangsa Bangsa tidak boleh mengaburkan kenyataan bahwa Piagam PBB berhutang banyak kepada pengalaman Liga Bangsa Bangsa, dan karena ketentuan-ketentuannya banyak berasal dari tradisi, praktek dan perangkat Liga Bangsa Bangsa. Namun walaupun PBB adalah pengganti Liga Bangsa-Bangsa dan dalam banyak hal mencotohnya, terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar antara kedua lembaga ini:
(a)    Kewajiban-kewajiban negara anggota PBB dinyatakan dalam istilah-istilah yang sangat umum, misalnya menangani perselisihan secara damai, memenuhi kewajiban-kewajiban mereka seperti tertera dalam Piagam secara jujur, dan sebagainya. Di lain pihak, kewajiban-kewajiban negara-negara anggota Liga Bangsa Bangsa dinyatakan dan didefinisikan dalam Covernant Liga itu dengan cara yang sangat khusus, misalnya prosedur yang sangat rinci dalam penyelesaian perselisihan tanpa menggunaka jalan perang (Pasal 12, 13 dan 15).
(b)   Dalam PBB, selain Sekertariat, ada lima organ utama, yakni Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian (Trusteeship) dan Mahkamah Internasional, dan bidang masing-masing organ ditetapkan dengan teliti untuk menghindari overlapping. Dalam Liga Bangsa-Bangsa, selain Sekertariat, hanya ada dua organ, yakni Majelis dan Dewan, dan masing-masing bisa menangani “setiap permasalahan dalam bidang kegiatan Liga Bangsa Bangsa atau yang mempengaruhi perdamaian dunia” (Pasal 3 dan 4 dalam Covenant).
(c)    Di dalam Piagam lebih menekankan masalah-masalah ekonomi, sosial, kebudayaan dan kemanusiaan daripada di dalam Covenant.
(d)   Terdapat perbedaan besar antara ketentuan-ketentuan “sanksi” dalam Pasal 16 Covenant Liga dan ketentuan-ketentuan untuk “tindakan pencegahan” dan tindakan pemaksaan” dalam Bab VII Piagam PBB. PBB (melalui Dewan Kemanan) tidak dibatasi dalam mengambil “tindakan pemaksaan”, sebagaimana halnya dengan Liga Bangsa-Bangsa, terdapat situasi di mana negara-negara anggota berperang dengan melanggar perjanjian dan kewajiban mereka menurut Piagam; PBB bisa mengambil tindakan seperti itu, jika ada suatu ancaman saja terhadap perdamaian, atau jika pelanggaran terhadap perdamaian atau suatu tindakan agresi telah dilakukan. Selain itu, para anggota PBB telah setuju untuk menyediakan angkatan bersenjata dengan syarat-syarat yang akan disepakati dengan Dewan Keamanan dan Dewan Keamanan akan dinasihati dan dibantu oleh Komite Staf Militer dalam mengarahkan angkatan bersenjata (pasukan) ini. Dalam Covenant Liga tidak ada ketentuan-ketentuan seperti ini.
(e)    Menurut Piagam, Keputusan-keputusan diambil berdasarkan keputusan-keputusan diambil berdasarkan suatu mayoritas, walaupun dalam Dewan Keamanan keputusan-keputusan selain prosedur biasa, juga harus mendapat persetujuan lima Negara Besar, yang merupakan anggota permanen. Dalam Liga Bangsa Bangsa semua keputusan penting hanya berdasarkan suara bulat. Namun tidak adil kalau kita menganggap perbedaan ini sebagai tak menguntungkan bagi Liga Bangsa Bangsa, karena bukan hanya: (a) ada beberapa kekecualian terhadap peraturan suara bulat itu, termasuk ketentuan-ketentuan dalam Pasal 15 Covenant Liga bahwa suara para anggota terhadap suatu perselisihan tidak dihitung bila Dewan Liga membuat laporan dan rekomendasi tentang perselisihan itu, tetapi (b) keefektifan Covenant Liga tergantung pada ketaatan para anggotanya dan bukan pada keputusan-kepurusan organik badan-badan Liga, sementara menurut Piagam PBB, tekanan diberikan kepada keputusan-keputusan badan-badan seperti Dewan Keamanan, dan kurang ditekankan pada kewajiban-kewajiban khusus para anggota.
Covenant dari Liga Bangsa Bangsa berisi 26 pasal yang singkat dan lebih pendek serta mudah dibaca dibandingkan dengan UUD Amerika Serikat, yang di dalamnya memuat ketentuan tentang kemungkinan untuk membuat amademen. Perjanjian Versailles yang ditandatangani antara kekuatan-kekuatan sekutu dan gabungan dengan Jerman pada tahun 1919 antara lain ketentuan-ketentuan khususnya memuat bebagai modifikasi hukum internasional yang merupakan tambahan dalam penyusunan 26 pasal Covenant Liga Bangsa Bangsa tersebut. (Covenant itu juga muncul sebagai 26 pasal pertama dalam Perjanjian-perjanjian Germain, Trianon dan Neudly yang ditandatangani antara kekuatan-kekuatan sekutu dan gabungan dengan masing-masing Austria, Hongaria dan Bulgaria. Amerika Serikat menandatangani ketiga perjanjian tersebut termasuk Perjanjian Versailles tetapi tidak meratrifikasinya).
BAB III ANALISIS
Liga Bangsa Bangsa merupakan organisasi Internasional yang dibentuk sejak Perang Dunia I telah berakhir. LBB sebenarnya merupakan alat yang bersifat imperialistik bagi negara-negara Barat.LBB dibangun melalui perjanjian khusus (konferensi perjanjian Paris 1919) dengan basis keinginan untuk mewjudkan kerjasama yang damai antar negara dan memberikan jaminan yang saling menguntungkan atas kemerdekaan politik dan integrasi wilayah bangsa besar dan kecil namun organisasi ini kemudian dalam jangka waktu panjang, seiring dengan meletusnya PD II, LBB tidak pernah menjadi organisasi internasional yang kuat karena tidak mampu mengendalikan negara-negara yang ingin berkuasa dan juga sangat agresif, terlebih lagi terdapat sistem pengambilan keputusan yang berinti padaayat 16 menunjukkan ketidankonsistenan organisasi ini dalam menjatuhkan sanksi, akibatnya beberapa negara. Kemudian membelot, seperti Inggris dan Prancis yang tidak pernah menganggap LBB sebagai institusi penting dan menolak menyusun kebijakan luar negerinya sesuai dgn ketentuan LBB, serta senat AS yang ada akhirnya menolak retifikasi perjanjian LBB.





DAFTAR PUSTAKA
J.G. Strake. 1984. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesembilan. Aksara Persada Indonesia.
Sumaryo Suryokusumo. 1990. Hukum Organisasi Internasional Jakarta: Universitas Indonesia.




Thursday, October 17, 2013

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN “PENDEKATAN KURIKULUM MATERI, TUJUAN, DAN KOMPETENSI”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan yang mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu dan juga kurikulum dapat diartikan sebagai keseluruhan pengalaman, yang tak terarah dan terarah, terutama kepada perkembangan kebolehan individu atau satu ciri latihan pengalaman langsung secara sadar digunakan oleh sekolah untuk melengkap dan menyempurnakan pembedahannya. Konsep beliau menekankan kepada pemupukan perkembangan individu melalui segala pengalaman termasuk pengalaman yang dirancangkan oleh sekolah. (Frank Bobbit 1918), sedangkan Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, yang mana di dalamnya mencakup beberapa hal diantaranya adalah perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan. Selain harus memperhatikan unsur-unsur diatas, didalam mengembangkan sebuah kurikulum juga harus menganut beberapa prinsip dan melakukan pendekatan terlebih dahulu, sehingga didalam penerapannya sebuah kurikulum dapat mencapai sebuah tujuan seperti yang diharapkan. Dan mengenai pendekatan itu akan kami jelaskan selengkapnya dalam pembahasan.
1.2  Perumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendekatan Kurikulum?
2.      Bagaimana Pendekatan Kurikulum Materi, Tujuan, Kompetensi?

1.3  Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu hanya dalam pembatasan masalah mengenai “Pendekatan Kurikulum Materi, Tujuan dan Kompetensi”.
1.4  Maksud dan Tujuan
Adapun maksud penulisan  dalam makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas pemenuhan syarat dari mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran.
Dalam melakukan penulisan makalah ini, hal yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang pendekatan kurikulum.
Secara khusus, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pendekatan kurikulum materi, tujuan dan kompetensi

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pendekatan Kurikulum
Pendekatan merupakan titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap suatu proses tertentu. Sehingga bila dikaitkan dengan kurikulum, pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang secara umum tentang proses pengembangan kurikulum. Pendekatan, lebih menekankan pada usaha dan penerapan langkah-langkah atau cara kerja dengan menerapkan suatu strategi dan beberapa metode yang tepat, yang dijalankan sesuai dengan langkah-langkah yang sistematik untuk memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Jadi pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik.
Pendekatan seseorang terhadap kurikulum akan merefleksikan pandangan tentang dunia, termasuk didalamnya pandangan tentang kenyataan, nilai dan pengetahuan yang dianutnya. Pendekatan pengembangan kurikulum menggambarkan posisis holistik atau metaorientasi, meliputi landasan, domain, dan prinsip teoritis serta prinsip praktis dari kurikulum. Pendekatan kurikulum juga menyatakan pandangan tentang pengembangan dan desain kurikulum, peranan guru, peserta didik dan ahli kurikulum dalam merencanakan kurikulum, tujuan kurikulum dan issu-issu yang perlu dibahas.
Pendekatan dalam pengembangan kurikulum merefleksikan pandangan seseorang terhadap sekolah dan masyarakat. Para pendidik pada umumnya tidak berpegang pada salah satu pendekatan secara murni, tetapi menganut beberapa pendekatan yang sesuai.
Pendekatan dalam pengembangan kurikulum mempunyai arti yang sangat luas. Hal tersebut bisa berarti penyusunan kurikulum baru (curriculum construction), bisa juga penyempurnaan terhadap kurikulum yang sedang berlaku (curriculum improvement). Di satu sisi pengembangan kurikulum berkaitan dengan penyusunan seluruh dimensi kurikulum mulai dari landasan, struktur dan penataan mata pelajaran, ruang lingkup (scope) dan urutan materi pembelajaran (sekuence), garis-garis besar program pembelajaran sampai pengembangan pedoman pelaksanaan (macro curriculum). Di sisi lain pengembangan kurikulum berkaitan dengan penjabaran kurikulum (GBPP) yang telah disusun oleh pusat ke dalam program dan persiapan pembelajaran yang lebih khusus (microvcurriculum). Kegiatan yang terakhir ini biasanya dikerjakan oleh guru di sekolah, seperti penyusunan program tahunan, semester, bulanan, pokok bahasan atau modul.
Kurikulum juga bisa berarti kurikulum tertulis (written curriculum) atau dokumen kurikulum yang merupakan kurikulum potensial (potencial curriculum), dan bisa juga berarti kurikulum nyata, yaitu kurikulum yang benar-benar dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran (actual curriculum), atau sering juga disebut implementasi kurikulum (curriculum implementation). Sehubungan dengan uraian di atas, untuk melakukan pengembangan kurikulum terlebih dahulu perlu dipahami hal-hal yang berkaitan dengan pendekatan pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Syaodih (200) mengemukakan pendekatan pengembangan kurikulum berdasarkan sistem pengelolaan, dan berdasarkan fokus sasaran.
2.2  Pendekatan Kurikulum Materi
Pendekatan yang beorientasi pada bahan (subject matter oriented). Kurikulum dengan pendekatan ini cenderung menekan kepentingan pencapaian target-target materi pelajaran, cenderung mengabaikan perubahan dan perkembangan perilaku secara utuh ke arah perubahan perilaku yang positif. Namun demikian, sejumlah kalangan masih meyakini bahwa pendekatan ini sangat bermanfaat untuk mengetahui tingkat pencapaian penguasaan materi pelajaran, sehingga berpengaruh besar terhadap kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dilihat dari pengelolaannya pengembangan kurikulum dibedakan antara sistem pengelolaan yang terpusat (sentralisasi), dan tersebar (desentralisasi). Kurikulum pendidikan dasar dan menengah tahun 1968 dan 1975 bersifat sentralisasi, hanya ada satu kurikulum untuk satu jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Kurikulum bersifat nasional, seragam, dikembangkan oleh tim pusat, guru-guru hanya berperan sebagai pelaksana di sekolah, yakni menjabarkan rencana tahunan, caturwulan dan satuan pelajaran tiap pelajaran. Dalam kurikulum 1984 telah ada muatan lokal yang disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuia, dan hal ini lebih intersifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994 muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang studi, tapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, kemungkinan muatan lokal akan lebih besar, modelnya lebih beragam dan sistemnya tidak terpusat lagi, sehingga pengelolaannya menjadi desentralisasi. Idealnya perimbangan muatan nasional dengan daerah antara 25%-40% nasional dan 60%-75% daerah. Dengan bobot muatan daerah atau lokal yang lebih besar berarti pengembangan kurikulum lebih banyak dilakukan oleh tim pengembangan yang terdiri atas para ahli dan guru-guru di daerah. Kurikulum juga akan lebih banayak diwarnai oleh unggulan daerah, baik kekayaan, perkembangan maupun kebutuhan daerah. Model kurikulumnya akan beragam sesuai dengan tujuan, fungsi dan isi program pendidikan. Pengembangan kurikulum menjadi lebih berbasis daerah atau kewilayahan. Kurikulum yang demikian ada yng menyebutnya kurikulum berbasis masyarakat, ada juga yang menyebutnya kurikulum berbasis sekolah.

2.3  Pendekatan Kurikulum Tujuan
Pendekatan yang berorientasi pada tujuan (objective oriented). Pendekatan ini menekankan arti pentingnya tujuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendekatan orientasi pada tujuan ini dalam pratiknya sering mengabaikan proses, sehingga kualitas proses pembelajaran adalah hal yang tidak disentuh. Namun demikian, sejumlah kalangan pendidikan masih meyakini pendekatan ini karena mampu memberi arah ke mana akhir pendidikan akan dituju.
Berdasarkan fokus sasaran, pengembangan kurikulum dibedakan antara pendekatan yang mengutamakan penguasaan ilmu pengetahuan, penguasaa  kemampuan standar, penguasaan kompetensi, pembentukan pribadi, dan penguasaan kemampuan memecahkan masalah sosial kemasyarakatan.
Pendekatan penguasaan ilmu pengetahuan, merupakan model pengembangan kurikulum yang menekankan pada isi atau materi, berupa pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi yang diambil dari bidang-bidang ilmu pengetahuan.
Pendekatan kemampuan standar, menekankan pada penguasaan kemampuan potensial yang dimiliki peserta didik sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya.
Pendekatan pembentukan pribadi, menekankan pada pengembangan atau pembentukan  aspek-aspek kepribadian secara utuh, baik pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap. Dalam pelaksanaannya para pengembang kurikulum ini banyak memberikan perhatian terhadap aspek-aspek sosial-emosional.
Pendekatan pemecahan masalah kemasyarakatan, diarahkan pada terciptanya masyarakat yang lebih baik. Pengembangan kurikulumnya menekankan pada pengembangan kemampuan memecahkan masalah-masalah penting dan mendesak yang ada di masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun yang lebih jauh pendekatan ini banyak digunakan dalam pendidikan luar sekolah.
Pendekatan kompetensi, merupakan model pengembangan kurikulum yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atas kompetensi tertentu di sekolah, yang berkaitan dengan pekerjaan yang ada di masyarakat.
2.4  Pendekatan Kurikulum Kompetensi.
Pendekatan yang berorientasi pada kompetensi (competencies based curriculum). Pendekatan ini lebih menekankan pada penguasaan kompetensi pembelajaran. Dalam praktiknya, tidak dibenarkan melakukan lompatan kompetensi sebelum kompetensi dasar dikuasai pembelajar pada jenjang tertentu. Selain itu, pendekatan ini juga tidak mengabaikan proses, sebab proses dipahami sebagai bagian dari kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran.
Menurut Crunkilton (1979 : 222) dalam Mulyasa, (2004 : 77) mengemukakan bahwa “kompetensi ialah sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan”. Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu. Dengan demikian terdapat hubungan (link) antara tugas-tugas yang dipelajari peserta didik di sekolah dengan kemampuan yang diperlukan oleh kerja.
Pendekatan kompetensi merupakan pendekatan pengembangan kurikulum yang menfokuskan pada penguasaan kompetensi tertentu berdasarkan tahap-tahap perkembangan peserta didik. Peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi-potensi bawaan sesuai dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh lingkungan. Setiap tahap perkembangan memiliki sejumlah potensi bawaan yang dapat dikembangkan, tetapi pemekarannya sangat tergantung pada kesempatan yang ada dan kondisi lingkungannya. Pendidikan merupakan lingkungan utama yang memberikan kesempatan dan dukungan bagi perkembangan potensi-potensi peserta didik.
Setiap peserta didik memiliki potensi bawaan sendiri-sendiri, meskipun aspek-aspek perkembangannya sama tetapi tingkatannya berbeda-beda. Seorang peserta didik memiliki kemampuan berpikir matematis yang tinggi, tetapi peserta didik lain berpikir ekonomi, politik, keruangan, keterampilan sosial, atau komunikasi yang tinggi. Guru-guru diharapkan dapat mengenali dan memahami potensi-potensi, terutama potensi-potensi tinggi yang dimiliki peserta didiknya. Dengan bekal pemahaman tersebut, mereka diharapkan dapat membantu mengembangkan potensi-potensi peserta didik sehingga dapat berkembang secara optimal.
Menurut Gordon, (1998 : 109) dalam Mulyasa, (2004 : 77-78) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut :
·         Pengetahuan (knowledge) yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.
·         Pemahaman (understanding) yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki oleh individu.
·         Kemampuan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
·         Sikap (attitude) yaitu (senang atau tidak senang, suka tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan terhadap yang datang dari luar.
·         Minat (interest) adalah kecendrungan seseorang untuk melakukan sesuatau perbuatan.

Berdasarkan gambaran kompetensi di atas. Maka kurikulum berbasis kompetensi adalah suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan kompetensi tugas-tugas dengan standar performasi tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tersebut.
Dengan demikian penerapan kurikulum dapat menumbuhkan tanggung jawab, dan partisipasi peserta didik untuk belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum, serta memberanikan diri berperan dalam berbagai kegiatan di sekolah maupun masyarakat (Mulyasa, 2002 : 39).

2.5  Keterkaitan KBK dengan Pendekatan Lain
Keterkaitan kurikulum berbasis kompetensi dengan pendekatan kemampuan standar, adalah bahwa keduanya sama-sama menekankan pada kemampuan, hanya berbeda jenis kemampuannya. Dalam pendekatan kompetensi, kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan yang mengarah pada pekerjaan, sedangkan dalam pendekatan kemampuan standar pada kemampuan umum. Pendekatan kemampuan standar dapat dipandang sebagai bagian dari pendekatan kompetensi, atau sebaliknya pendekatan kemampuan standar mencakup kompetensi umum dan kompetensi pekerjaan.
Kurikulum berbasi kompetensi terkait dengan pendekatan pengembangan pribadi, karena standar kompetensi yang dikembangkan berkenaan dengan pribadi peserta didik, seperti kompetensi intelektual, sosial dan komunikasi, penguasaan nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan. Bedanya, dalam kurikulum berbasis kompetensi lebih difokuskan pada kompetensi potensial yang ensesial, sedang pengembangan pribadi lebih menekankan keutuhan perkembangan kemampuan-kemampuan tersebut.
Kurikulum berbasis kompetensi terkait dengan pendekatan ilmu pengetahuan, karena kompetensi yang dikembangkan, seperti kompetensi intelektual, dan sosial berkaitan dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti IPA, IPS, Matematika, Bahasa, Olahraga, keterampilan, dan kesenian. Perbedaannya, kurikulum berbasis kompetensi lebih menekankan pada kemampuan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Di sisi lain, pendekatan ilmu pengetahuan lebih menekankan pada hasil belajar, namun tidak mengabaikan kompetensi dari pengetahuan tersebut.
Kurikulum berbasis kompetensi diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.
Kurikulum berbasis kompetensi memfokuskan pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa. Sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk prilaku atau keterampilan peserta didik sebagai sesuatu kriteria keberhasilan.
Kurikulum berbasis kompetensi juga menuntut guru yang berkualitas dan profesional untuk melakukan kerjasama dalam rangkaian meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam hubungannya dengan pembelajaran memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kay (1977) dalam Mulyasa, mengemukakan bahwa “pendidikan berbasis kompetensi selalu dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa” dan “bagaimana” jadi perbuatan tersebut dilakukan” (Mulyasa, 2002 : 23).
Depdiknas (2002) dalam Mulyasa mengemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Menekankan pada ketercapaian kompetensi pesertadidik baik secara individual maupun klasikal
2.      Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman
3.      Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi
4.      Sumber belajar bukan guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif
5.      Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi

2.6  Keunggulan KBK
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.
Pertama, pendekatan ini bersifat alamiah (konstektual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensi masing-masing. Dalam hal ini peserta didik merupakan subjek belajar, dan proses belajar berlangsung secara alamiah dalam bentuk bekerja dan mengalami berdasarkan standar kompetensi tertentu, bukan transfer pengetahuan (transfer of knowledge).
Kedua, kurikulum berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, dan keahlian tertentu dalam kehidupan sehari-hari serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu.
Ketiga, ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan.
Keempat, mengembangakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik /siswa (student oriented). Peserta didik dapat bergerak aktif secara fisik ketika belajar dengan memanfaatkan indra seoptimal mungkin dan membuat seluruh tubuh serta pikiran terlibat dalam proses belajar. Dengan demikian, peserta dapat belajar dengan bergerak dan berbuat, belajar dengan berbicara dan mendengar, belajar dengan mengamati dan menggambarkan, serta belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir. Pengalaman-pengalaman itu dapat diperoleh melalui kegiatan mengindra, mengingat, berpikir, merasa, berimajinasi, menyimpulkan, dan menguraikan sesuatu. Kegiatan tersebut dijabarkan melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Kelima, guru diberikan kewenangan untuk menyusun silabus yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekolah/daerah masing-masing sesuai mata pelajaran yang diajarkan.
Keenam, bentuk pelaporan hasil belajar yang memaparkan setiap aspek dari suatu mata pelajaran memudahkan evaluasi dan perbaikan terhadap kekurangan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
Ketujuh, penilaian yang menekankan pada proses memungkinkan peserta didik untuk mengeksplorasi kemampuannya secara optimal, dibandingkan dengan penilaian yang terfokus pada konten.
      
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik. Pendekatan Kulikulum ditinjau dari perspektif pendekatan, terdapat tiga pendekatan yang dapat dikemukakan.
Pendekatan pertama, pendekatan yang berorientasi pada bahan (subject matter oriented). Kurikulum dengan pendekatan ini cenderung menekan kepentingan pencapaian target-target materi pelajaran, cenderung mengabaikan perubahan dan perkembangan perilaku secara utuh ke arah perubahan perilaku yang positif.
Kedua, Pendekatan yang berorientasi pada tujuan (objective oriented). Pendekatan ini menekankan arti pentingnya tujuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendekatan orientasi pada tujuan ini dalam pratiknya sering mengabaikan proses, sehingga kualitas proses pembelajaran adalah hal yang tidak disentuh.
Ketiga, Pendekatan yang berorientasi pada kompetensi (competencies based curriculum). Pendekatan ini lebih menekankan pada penguasaan kompetensi pembelajaran. Dalam praktiknya, tidak dibenarkan melakukan lompatan kompetensi sebelum kompetensi dasar dikuasai pembelajar pada jenjang tertentu. Selain itu, pendekatan ini juga tidak mengabaikan proses, sebab proses dipahami sebagai bagian dari kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran.


DAFTAR PUSTAKA
1. Mulyasa. 2004. Kurikulum Bebasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
2. Siregar, Eveline dan Nara, Hartini. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor:Ghalia Indonesia.
3. Rohman, Muhammad. 2012. Kurikulum Berkarakter. Jakarta:Prestasi Pustakarya.
4. Nana Sujana, 2005, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Jakarta : Sinar Baru  Algensindo.
5. S. Nasution, 2008, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara.