BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori Lapangan (field
theory) atau dinamakan juga Teori
Psikodinamika, sering dikira orang hanya dikemukakan oleh Kurt Lewin.
Hal ini tidak benar karena selain Lewin ada Tokoh- tokoh lain yang juga
mengemukakan Teori Lapangan seperti Tolman (1932), Wheeler ( 1940), Lashley
(1929) dan Brunswik (1949). Kelebihan Kurt Lewin atas tokoh- tokoh lainnya
adalah bahwa Lewinlah yang paling jauh mengembangkan Teori Lapangan ini
sehingga ia dikenal sebagai tokoh yang paling muka. Salah satu ciri yang terpeting dari Teori Lapangan adalah bahwa
teori ini menggunakan metode “Konstruktif”.
Metode konstruktif,
atau disebut juga metode “genetic” adalah metode yang digunakan Lewin sebagai pengganti metode “klasifikasi”
yang pada waktu itu lebih lazim dipakai. Metode klasifikasi menurut Lewin
mempunyai kelemahan karena hanya mengelompokkan objek studi berdasarkan persamaan-persamaannya.
Pengelompokan seperti ini bersifat statis. Padahal, Lewin menghendaki metode
yang dinamis karena objek studinya adalah tingkah laku yang dinamis pula. Sifat
dinamis ini ada pada metode konstruktif yang menghasilkan objek objek studinya
berdasarkan hubungan antara satu objek dengan objek lainnya.
Dengan metode
konstruktif yang sifatnya dinamis ini , maka teori lapangan pun bersifat
dinamis. Konsekuensi kedua dari metode konstruktif yang menjadi ciri teori
lapangan adalah bahwa cara pendekatan yang digunakan dalam teori lapangan
selalu harus psikologis. Ketiga, analisis dalam teori lapangan harus berawal
dari situasi sebagai keseluruhan (totalitas), tidak dimulai dari elemen-elemen
yang berdiri sendiri. Dari awal yang menyeluruh itu barulah dapat dilakukan
analisis terhadap masing-masing elemen atau bagian dari situasi secara khusus.
Keempat, tingkah laku harus dianalisis dalam rangka “lapangan” pada saat
tingkah laku terjadi.
Cara pendekatannya
tidak perlu historis, jadi tidak perlu menghubungkan dengan masa lalu seperti
pada psikoanalisis, tetapi harus tetap sistematis. Konsekuensi kelima adalah
bahwa bahasa yang digunakan dalam teori lapangan harus eksak dan logis, jadi
harus berupa bahasa matematik. Namun, bahasa matematik tidak hanya kuantitatif.
bahasa matematik menurut Lewin bisa juga kualitatif.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun perumusan
masalah yang berkaitan dengan makalah ini antara lain:
1. 1. Bagaimana
konsep-konsep Teori Lapangan dalam Psikologi Sosial?
2. 2. Apa
yang dimaksud dengan Teori Lapangan tentang Kekuasaan, tentang Kekuasaan
Sosial, tentang
Kerjasama dan Persaingan?
Kerjasama dan Persaingan?
1.3 Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan
masalah yang dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu hanya dalam
pembatasan masalah mengenai “Teori-Teori Lapangan dalam Psikologi Sosial”.
1.4 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud
penulisan dalam makalah ini yaitu
sebagai salah satu tugas pemenuhan syarat dari mata kuliah Psikologi Sosial.
Dalam melakukan
penulisan makalah ini, hal yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai
berikut:
Secara umum, penulisan
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi kami dan pembaca tentang
Teori-Teori Lapangan dalam Psikologi Sosial.
Secara khusus,
penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mengenai Teori Lapangan tentang kekuasaan,
Teori tentang Kekuasaan Sosial, Teori tentang Kerja sama dan persaingan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Teori Lapangan
a)
Lapangan Kehidupan
Lapangan kehidupan dari
seorang individu terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan kejiwaan
(psikologis) yang ada padanya.Demikian pula lapangan kehidupan suatu kelompok
adalah kelompok itu sendiri ditambah dengan lingkungan tempat kelompok itu
berada pada suatu saat tertentu.
Lapangan kehidupan
terbagi-bagi dalam wilayah-wilayah (region) atau disebut juga lingkungan
kehidupan (life-sphere). Lingkungan kehidupan ini ada yang bersifat nyata
(reality) seperti ibu, teman, pekerjaan, dan sebagainya dan ada pula yang
bersifat maya (irreality), seperti harapan, cita-cita, dan sebagainya. Jadi
lapangan kehidupan mempunyai dimensi nyata-maya (dimensi R-I). Dimensi kedua
dari lapangan kehidupan adalah kecairan (fluidity) dari lingkungan-lingkungan
kehidupan tersebut di atas. Kecairan berarti dapat terjadi gerak,perpindahan
dari satu wilayah ke wilayah yang lain yang tergantung pada keras atau lunaknya
dinding-dinding pembatas dari masing-masing wilayah dalam lapangan kehidupan
itu.
Dimensi lain dari
Lapangan Kehidupan adalah “waktu psikologik”. Walaupun cara pendekatan yang
digunakan Lewin adalah ahistoris, perkembangan lapangan kehidupan itu sendiri
menyebabkan adanya masa lalu, masa kini, dan masa depan psikologik. Dalam
kombinasinya dengan dimensi nyata-maya (R-I), dimensi waktu ini memberikan
sifat yang dinamis pada lapangan kehidupan.
Hal-hal yang dapat
menyebabkan perubahan lapangan kehidupan yaitu :
1. Meningkatkan
diferensiasi dalam suatu wilayah;
2. Dua
atau beberapa wilayah menggabung menjadi satu;
3. Diferensiasi
berkurang;
4. Suatu
wilayah pecah membebaskan diri dan membentuk wilayah sendiri;
5. Restrukrusasi,
yaitu ada perubahan pola pada wilayah-wilayah dalam lapangan kehidupan, tetapi
tidak terjadi diferensiasi.
b)
Tingkah Laku dan Lokomosi
Tingkah laku menurut
Lewin adalah lokomosi (locomotion) yang berarti perubahan atau gerakan pada
lapangan kehidupan. Lokomosi dapat terjadi karena ada “komunikasi” antara dua
wilayah dalam lapangan kehidupan seseorang. Komunikasi antara dua wilayah
tersebut menimbulkan ketegangan (tension) pada satu wilayah dan ketegangan
menimbulkan kebutuhan (need) dan kebutuhan inilah yang menyebabkan tingkah
laku. Namun, sebelum kebutuhan bisa menimbulkan lokomosi, masih ada satu faktor
lagi yaitu batas-batas (barrier) wilayah yang bersangkutan. Kalau batas itu
kaku dan kenyal,maka batas itu akan sukar ditembus oleh daya (forces) yang ada
dalam lapangan kehidupan seseorang sehingga sulit terjadi lokomosi. Sebailknya,
kalau batas wilayah-wilayah itu lunak, maka akan terjadi pertukaran daya antar
wilayah sehingga wilayah-wilayah yang berkomunikasi itu berada dalam tingkat
ketegangan yang seimbang kembali.
c)
Daya (Forces)
Kurt Lewin membagi-bagi
daya dalam beberapa jenis berikut ini :
a.
Daya yang mendorong.
b.
Daya yang menghambat.
c.
Daya yang berasal dari kebutuhan
sendiri.
d.
Daya yang berasal dari orang lain.
e.
Daya yang impersonal (daya yang tidak
berasal dari kehendak sendiri maupun dari orang lain melainkan dari situasi).
d) Ketegangan
(tension)
Meredakan ketegangan
tidak berarti bahwa ketegangan itu harus hilang sama sekali (dalam keadaan
nol), melainkan ketegangan itu disebarkan secara merata dari satu wilayah ke
wilayah-wilayah lain dalam lapangan kehidupan. Dengan perkataan ini,peredaan
ketegangan berarti tercapainya equilibrium (keseimbangan) di antara
wilayah-wilayah. Dengan demikian, ketegangan suatu wilayah tertentu bisa
mereda, tetapi secara umum ketegangan di seluruh lapangan kehidupan belum tentu
mereda.
2.2 Teori- teori Lapangan Dalam
Psikologi Sosial
1.
Teori
Lapangan tentang kekuasaan
Kekuasaan social
(social power) menurut Cartwright adalah masalah yang sangat penting dalam
menganalisis perilaku social. Cartwright mendasarkan teorinya pada definisi
yang dikemukakan oleh Kurt Lewin (1951) tentang kekuasaan (power) sebagai
berikut:
“ Kekuasaan A atas B
dalam rangka mengubah X menjadi Y pada bagai hasil (kuosien) antara daya
maksimum yang dapat dipaksakan A terhadap B dengan daya tolak maksimum yang
dapat dihasilkan oleh B untuk bergerak menuju kearah yang sebaliknya”.
Atas dasar definisi
Lewin tersebut di atas, Cartwright merumuskan kembalinya suatu definisi yang
tidak berintikan hasil bagi (kuosien/ratio), melainkan lebih berasaskan
selisih. Reformulasi Cartwright tentang definisi kekuasaan berbunyi sebagai
berikut: “Kekuasaan A atas B dalam
rangka mengubah X menjadi Y pada waktu tertentu sama dengan kekuatan maksimum
dari daya-daya yang dapat dihasilkan oleh A ke jurusan tersebut (X ke Y), pada
waktu tersebut”.
Cartwright, ia
menyebutkan ketujuh istilah primitif itu adalah pelaku (egent), tindakan pelaku
(act of agent), lokus (locus), hubungan langsung (direct joining), dasar motif
(motive base), besaran (magnitude), dan waktu (time).
Arti dari
istilah-istilah tersebut di atas diuraikannya sebagai berikut:
1)
Pelaku adalah suatu satuan yang dapat
menghasilkan pengaruh atau menderita akibat. Pelaku-pelaku ini biasanya adalah
orang , sedangkan bentuknya bisa berupa orang-perorangan, penitia, kelompok ,
badan hukum dan lain-lain.
2)
Tindakan pelaku adalah peristiwa yang
menggiatkan atau menimbulkan suatu pengaruh (efek). Untuk menimbulkan efek ini,
suatu pelaku harus melakukan suatu tindakan tertentu.
3)
Lokus adalah suatu tempat dalam tata
ruang.
Tempat
ini bisa berarti “wilayah” dalam teori Lewin, tetapi bisa juga berarti
kedudukan dalam kelompok atau organisasi dan bisa juga berarti suatu
posisi pada sebuah skala sikap, skala
pendapat, dan sebagainya.
4) Hubungan
langsung berarti kemungkinan perpindahan langsung dari satu lokus ke lokus yang
lain.
5) Dasar
motif adalah energi bawaan yang menggerankkan tingkah laku, antara lain
kebutuhan (need), dorongan (drive), dan motif.
6) Besaran
adalah ukuran dari konstruk-konstruk (konsep-konsep) diatas. Ukuran tersebut
bisa berupa angka-angka dengan tanda-tanda plus (+) atau minus (-).
7) Waktu
menunjuk pada berapa lama berlangsungnya suatu peristiwa. Indikator dari waktu
bisa berupa ukuran-ukuran waktu fisik (jam, menit , detik, dan sebagainya).
Berdasarkan
ketujuh istilah “ primitif “ tersebut di atas , Cartwright merumuskan daya
terdiri dari tindakan pelaku, dasar motif, sepasang lokus yang berhubungan
langsung , besaran , dan waktu. Daya inilah yang membentuk kekuasaan seperti
yang telah diuraikan di atas.
2.
Teori
tentang kekuasaan social
Teori yang dikembangkan
oleh French ini terutama membahas proses pengaruh memengaruhi dalam kelompok,
khususnya dalam kaitannya dengan dengan pendapat dan perubahan pendapat
kelompok. Proses pengaruh memengaruhi itu menurut French melibatkan tiga pola
ralasi dalam kelompok, yaitu hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota
kelompok, pola komunikasi dalam kelompok, dan hubungan antar pendapat dalam
kelompok. Dengan demikian , walaupun namanya teori kekuasaan social, teori
French ini tidak secara eksplisit membicarakan kekuasaan social.
French mengemukakan
bahwa ada lima macam kekuasaan dasar yang berpengaruh dalam hubungan antara dua
orang yaitu:
1.
Kekuasaan rujukan (referent power, atau
attraction power) yang didasari oleh perasaan saling menyukai dan saling
beridentifikasi antara A dan B.
2.
Kekuasaan ganjaran (reward power) yang
didasari oleh kemampuan A untuk memberi ganjaran kepada B.
3.
Kekuasaan hukuman (coercive power) yang
didasari oleh kemampuan A untuk memberi hukuman kepada B.
4.
Kekuatan pengabsahan (legitimate power)
, yang didasari oleh hak yang ada pada A untuk membenarkan atau menyalahkan
tingkah laku B.
5.
Kekuatan keahlian (expert power) yang
didasari pada persepsi B bahwa A lebih tahu (punya lebih banyak informasi)
tentang hal-hal tertentu.
Berdasarkan
lima kekuasaan dasar tersebut di atas, French mengemukakan tiga postulat
(dalil) yang menyangkut hubungan kekuasaan, hubungan pendapat, dan perubahan
pendapat.
Postulat
1: hasil daya yang ada pada A untuk memaksa B ke arah pendapat yang disetujui A
sebanding dengan kekuatan dari kekuasaan-kekuasaan dasar yang ada pada A
terhadap B.
Postulat
2: kekuatan daya pada A untuk memaksa perubahan pendapat B ke arah yang disetujui A berbanding terbalik dengan jarak perbedaan
pendapat antara A dan B.
Postulat
3: dalam satu unit, seseorang yang dipengaruhi B akan mengubah pendapatnya
sampai mencapai titik keseimbangan dimana daya adalah nol.
3.
Teori
tentang kerja sama dan persaingan
Teori ini dikembangkan
oleh Deutsch (1949) dan di dasarkan pada teori lapangan dari Kurt Lewin. Pusat
perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan
(competition) dalam kelompok kecil.
Perbedaan antara kerja
sama dan persaingan menurut Deutsch terletak pada sifat wilayah-wilayah tujuan
pada situasi tersebut. Dalam situasi kerja sama, wilayah yang menjadi tujuan
dari seorang anggota kelompok atau sub-subkelompok yang bersangkutan jika
individu-individu lain atau subkelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan
itu.
Hipotesis-hipotesis berdasarkan
definisi dan dampak kerja sama dan persaingan tersebut di atas, deutsch membuat
sejumlah hipotesis sebagai berikut :
1. Individu-individu
dalam situasi kerja sama akan melihat diri mereka sendiri saling mendukung dan
individu-individu dalam situasi persaingan akan melihat diri mereka sendiri
saling menghambat.
2. Tindakan
subsitusi lebih banyak terjadi dalam situasi kerja sama dari pada situasi
persaingan (substitusi berarti tindakan seseorang dapat digantikan oleh
tindakan orang lain; tidak perlu dua orang melakukan tindakan yang sama).
3. Lebih
banyak tindakan yang dipandang positif ( menyenangkan) oleh anggota- anggota
lain dalam kelompok kerja sama dari pada dalam kelompok persaingan.
3a. lebih banyak
tindakan yang dipandang negatif (tidak
menyenangkan) oleh
anggota-anggota lain dalam kelompok persaingan dari pada dalam
kelompok kerja sama.
anggota-anggota lain dalam kelompok persaingan dari pada dalam
kelompok kerja sama.
4. Dalam
kelompok kerja sama lebih banyak daya pada diri anggota kelompok yang
diproduksi dan disalurkan kea rah yang sesuai dengan arah yang dimaksud oleh
pihak pengarah (inducer) dari pada dalam kelompok persaingan.
4a. dalam diri
masing-masing anggota kelompok kerja sama lebih banyak
terdapat konflik dari pada dalam diri anggota-anggota kelompok
persaingan.
terdapat konflik dari pada dalam diri anggota-anggota kelompok
persaingan.
5. Anggota
kelompok kerja sama akan lebih banyak saling menolong dari pada anggota
kelompok persaingan.
5a. anggota kelompok persaingan akan
lebih banyak saling menghambat dari
pada anggota kelompok kerja sama.
pada anggota kelompok kerja sama.
6. Dalam
satu waktu tertentu lebih banyak aktivitas yang saling berkaitan (bekerja bersama-sama)
antara anggota kelompok kerja sama dari pada anggota kelompok persaingan.
6a. dalam suatu jangka
waktu, lebih sering terjadi koordinasi usaha dalam
situasi kerja sama dari pada situasi persaingan.
situasi kerja sama dari pada situasi persaingan.
7. Homogenitas
dalam artian sumbangan atau partisipasi lebih besar dalam situasi kerja sama
dari pada siruasi persaingan.
8. Spesialisasi
dari tugas dalam situasi kerja sama lebih besar dari pada situasi persaingan.
9. Spesialisasi
dari aktivitas dalam situasi kerja sama lebih besar dari pada situasi persaingan.
10. Struktur
tugas dalam situasi kerja sama lebih stabil dari pada situasi persaingan.
11. Peralihan
peran dalam rangka penyesuaikan terhadap perubahan lingkungan lebih dapat
terjadi dalam situasi kerja sama dari pada dalam situasi persaingan.
12. Arah
dari daya dalam kelompok kerja sama lebih serupa satu sama lain dari arah dan
daya dalam kelompok persaingan.
13. Tekanan
untuk berprestasi lebih berat dalam kelompok kerja sama dari pada kelompok
persaingan.
14. Kekuatan
daya yang menuju kea rah tujuan , pada kelompok kerja sama lebih besar dari
pada kelompok persaingan.
15. Jumlah
keseluruhan daya yang berkerja pada individu-individu dalam situasinya
masing-masing tidak berbeda antara yang berada dalam situasi kerja sama dan
situasi persaingan.
16. Kalau
tugas yang diberikan dapat diukur dengan lokomosi yang dapat dilihat
(abservable) tanda-tandanya, maka
tanda-tanda itu akan lebih banyak terlihat pada kelompok persaingan per unit
waktu dari pada kelompok kerja sama.
17. Bila
lokomosi dimungkinkan tanpa menimbulkan tanda-tanda, maka tanda-tanda yang akan
timbul akan lebih banyak pada kelompok kerja sama per unit waktu dari pada
kelompok persaingan.
18. Perhatikan
terhadap tanda-tanda yang ditimbulkan oleh orang lain lebih sedikit dalam
kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
19. Kesulitan
komunikasi lebih besar dalam kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
20. Kesulitan
komunikasi lebih besar , bahkan jika saling perhatikan cukup tinggi , pada
kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
21. Saling
setujuh dan saling menerima antara orang-orang yang saling berkomunikasi dalam
kelompok kerja sama lebih terjadi dari pada kelompok persaingan.
22. Anggota
kelompok kerja sama akan lebih tahu tentang aktivitas dalam kelompoknya dari
pada anggota kelompok persaingan.
23. Orientasi
pada kelompok lebih besar dalam kelompok kerja sama dari pada kelompok
persaingan.
24. Produktivitas
per unit waktu lebih besar pada kelompok
kerja sama dari pada kelompok persaingan.
24a. waktu yang
dibutukan oleh kelompok kerja sama untuk menghasilkan
suatu jumlah produksi tertentu lebih singkat dari pada waktu yang
dibutukan oleh kelompok persaingan untuk memproduksi jumlah yang
sama.
suatu jumlah produksi tertentu lebih singkat dari pada waktu yang
dibutukan oleh kelompok persaingan untuk memproduksi jumlah yang
sama.
25. Kualitas
hasil produksi dari kelompok kerja sama lebih tinggi dari pada kelompok
persaingan.
26. Anggota-anggota
kelompok kerja sama lebih banyak saling belajar antarmereka dari pada
anggota-anggota kelompok persaingan.
27. Suasana
bersahabat lebih besar dalam kelompok
kerja sama dari pada kelompok persaingan.
28. Anggota
kelompok kerja sama menilai hasil kerja kelompoknyalebih tinggi dari pada
penilaian anggota-anggota kelompok persaingan terhadap hasil kelompok mereka.
29. Tugas
bersama dalam kelompok kerja sama lebih besar persentasenya dari pada kelompok
persaingan.
30. Tugas
perorangan lebih besar persentasenya dalam kelompok persaingan dari pada
kelompok kerja sama.
31. Pandangan
seseorang terhadap sikap orang lain pada dirinya akan lebih realistis dalam
kelompok persaingan.
32. Sikap
seseorang terhadap tugasnya sendiri dalam kelompok kerja sama lebih mirip
dengan sikap orang-orang lain terhadap tugasnya itu dari pada dalam kelompok
persaingan.
33. Anggota
kelompok kerja sama lebih banyak melihat dirinya sendiri sebagai anggota
kelompok persaingan.
34. Peleburan
diri (incorporation) dengan sikap dari orang-orang lain pada umumnya (attitude
of generalized others) lebih sering terjadi dalam kelompok kerja sama dari pada
dalam kelompok persaingan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas, dapat dijelaskan mengenai Macam-macam Teori Lapangan dalam Psikologi
Sosial ada tiga antara lain:
1)
Teori Lapangan tentang kekuasaan
Kekuasaan social
(social power) menurut Cartwright adalah masalah yang sangat penting dalam
menganalisis perilaku social. Cartwright mendasarkan teorinya pada definisi
yang dikemukakan oleh Kurt Lewin (1951) tentang kekuasaan (power).
2)
Teori tentang kekuasaan social
Teori yang dikembangkan
oleh French ini terutama membahas proses pengaruh memengaruhi dalam kelompok,
khususnya dalam kaitannya dengan dengan pendapat dan perubahan pendapat
kelompok. Proses pengaruh memengaruhi itu menurut French melibatkan tiga pola
ralasi dalam kelompok, yaitu hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota
kelompok, pola komunikasi dalam kelompok, dan hubungan antar pendapat dalam
kelompok.
3)
Teori tentang kerja sama dan persaingan
Teori ini dikembangkan
oleh Deutsch (1949) dan di dasarkan pada teori lapangan dari Kurt Lewin. Pusat
perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan
(competition) dalam kelompok kecil.
Perbedaan antara kerja
sama dan persaingan menurut Deutsch terletak pada sifat wilayah-wilayah tujuan
pada situasi tersebut. Dalam situasi kerja sama, wilayah yang menjadi tujuan
dari seorang anggota kelompok atau sub-subkelompok yang bersangkutan jika
individu-individu lain atau subkelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono,
S.W. 2011. Teori-Teori Psikologi Sosial . Jakarta: PT.Raja Grafindo.
0 comments:
Post a Comment