Sunday, March 9, 2014

TEORI-TEORI LAPANGAN DALAM PSIKOLOGI SOSIAL



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Teori Lapangan (field theory) atau dinamakan juga Teori  Psikodinamika, sering dikira orang hanya dikemukakan oleh Kurt Lewin. Hal ini tidak benar karena selain Lewin ada Tokoh- tokoh lain yang juga mengemukakan Teori Lapangan seperti Tolman (1932), Wheeler ( 1940), Lashley (1929) dan Brunswik (1949). Kelebihan Kurt Lewin atas tokoh- tokoh lainnya adalah bahwa Lewinlah yang paling jauh mengembangkan Teori Lapangan ini sehingga ia dikenal sebagai tokoh yang paling muka. Salah satu ciri yang  terpeting dari Teori Lapangan adalah bahwa teori ini menggunakan metode “Konstruktif”.
Metode konstruktif, atau disebut juga metode “genetic” adalah metode yang digunakan  Lewin sebagai pengganti metode “klasifikasi” yang pada waktu itu lebih lazim dipakai. Metode klasifikasi menurut Lewin mempunyai kelemahan karena hanya mengelompokkan objek studi  berdasarkan persamaan-persamaannya. Pengelompokan seperti ini bersifat statis. Padahal, Lewin menghendaki metode yang dinamis karena objek studinya adalah tingkah laku yang dinamis pula. Sifat dinamis ini ada pada metode konstruktif yang menghasilkan objek objek studinya berdasarkan hubungan antara satu objek dengan objek lainnya.
Dengan metode konstruktif yang sifatnya dinamis ini , maka teori lapangan pun bersifat dinamis. Konsekuensi kedua dari metode konstruktif yang menjadi ciri teori lapangan adalah bahwa cara pendekatan yang digunakan dalam teori lapangan selalu harus psikologis. Ketiga, analisis dalam teori lapangan harus berawal dari situasi sebagai keseluruhan (totalitas), tidak dimulai dari elemen-elemen yang berdiri sendiri. Dari awal yang menyeluruh itu barulah dapat dilakukan analisis terhadap masing-masing elemen atau bagian dari situasi secara khusus. Keempat, tingkah laku harus dianalisis dalam rangka “lapangan” pada saat tingkah laku terjadi.
Cara pendekatannya tidak perlu historis, jadi tidak perlu menghubungkan dengan masa lalu seperti pada psikoanalisis, tetapi harus tetap sistematis. Konsekuensi kelima adalah bahwa bahasa yang digunakan dalam teori lapangan harus eksak dan logis, jadi harus berupa bahasa matematik. Namun, bahasa matematik tidak hanya kuantitatif. bahasa matematik menurut Lewin bisa juga kualitatif.


1.2  Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang berkaitan dengan makalah ini antara lain:
1.                     1.  Bagaimana konsep-konsep Teori Lapangan dalam Psikologi Sosial?
2.                   2. Apa yang dimaksud dengan Teori Lapangan tentang Kekuasaan, tentang Kekuasaan Sosial, tentang   
         Kerjasama dan Persaingan?
1.3  Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu hanya dalam pembatasan masalah mengenai “Teori-Teori Lapangan dalam Psikologi Sosial”.
1.4  Maksud dan Tujuan
Adapun maksud penulisan  dalam makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas pemenuhan syarat dari mata kuliah Psikologi Sosial.
Dalam melakukan penulisan makalah ini, hal yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi kami dan pembaca tentang Teori-Teori Lapangan dalam Psikologi Sosial.
Secara khusus, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui  mengenai Teori Lapangan tentang kekuasaan, Teori tentang Kekuasaan Sosial, Teori tentang Kerja sama dan persaingan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Konsep Dasar Teori Lapangan
a)        Lapangan Kehidupan
Lapangan kehidupan dari seorang individu terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya.Demikian pula lapangan kehidupan suatu kelompok adalah kelompok itu sendiri ditambah dengan lingkungan tempat kelompok itu berada pada suatu saat tertentu.
Lapangan kehidupan terbagi-bagi dalam wilayah-wilayah (region) atau disebut juga lingkungan kehidupan (life-sphere). Lingkungan kehidupan ini ada yang bersifat nyata (reality) seperti ibu, teman, pekerjaan, dan sebagainya dan ada pula yang bersifat maya (irreality), seperti harapan, cita-cita, dan sebagainya. Jadi lapangan kehidupan mempunyai dimensi nyata-maya (dimensi R-I). Dimensi kedua dari lapangan kehidupan adalah kecairan (fluidity) dari lingkungan-lingkungan kehidupan tersebut di atas. Kecairan berarti dapat terjadi gerak,perpindahan dari satu wilayah ke wilayah yang lain yang tergantung pada keras atau lunaknya dinding-dinding pembatas dari masing-masing wilayah dalam lapangan kehidupan itu.
Dimensi lain dari Lapangan Kehidupan adalah “waktu psikologik”. Walaupun cara pendekatan yang digunakan Lewin adalah ahistoris, perkembangan lapangan kehidupan itu sendiri menyebabkan adanya masa lalu, masa kini, dan masa depan psikologik. Dalam kombinasinya dengan dimensi nyata-maya (R-I), dimensi waktu ini memberikan sifat yang dinamis pada lapangan kehidupan.
Hal-hal yang dapat menyebabkan perubahan lapangan kehidupan yaitu :
1.      Meningkatkan diferensiasi dalam suatu wilayah;
2.      Dua atau beberapa wilayah menggabung menjadi satu;
3.      Diferensiasi berkurang;
4.      Suatu wilayah pecah membebaskan diri dan membentuk wilayah sendiri;
5.      Restrukrusasi, yaitu ada perubahan pola pada wilayah-wilayah dalam lapangan kehidupan, tetapi tidak terjadi diferensiasi.
b)        Tingkah Laku dan Lokomosi
Tingkah laku menurut Lewin adalah lokomosi (locomotion) yang berarti perubahan atau gerakan pada lapangan kehidupan. Lokomosi dapat terjadi karena ada “komunikasi” antara dua wilayah dalam lapangan kehidupan seseorang. Komunikasi antara dua wilayah tersebut menimbulkan ketegangan (tension) pada satu wilayah dan ketegangan menimbulkan kebutuhan (need) dan kebutuhan inilah yang menyebabkan tingkah laku. Namun, sebelum kebutuhan bisa menimbulkan lokomosi, masih ada satu faktor lagi yaitu batas-batas (barrier) wilayah yang bersangkutan. Kalau batas itu kaku dan kenyal,maka batas itu akan sukar ditembus oleh daya (forces) yang ada dalam lapangan kehidupan seseorang sehingga sulit terjadi lokomosi. Sebailknya, kalau batas wilayah-wilayah itu lunak, maka akan terjadi pertukaran daya antar wilayah sehingga wilayah-wilayah yang berkomunikasi itu berada dalam tingkat ketegangan yang seimbang kembali.
c)        Daya (Forces)
Kurt Lewin membagi-bagi daya dalam beberapa jenis berikut ini :
a.         Daya yang mendorong.
b.         Daya yang menghambat.
c.         Daya yang berasal dari kebutuhan sendiri.
d.        Daya yang berasal dari orang lain.
e.         Daya yang impersonal (daya yang tidak berasal dari kehendak sendiri maupun dari orang lain melainkan dari situasi).
d)       Ketegangan (tension)
Meredakan ketegangan tidak berarti bahwa ketegangan itu harus hilang sama sekali (dalam keadaan nol), melainkan ketegangan itu disebarkan secara merata dari satu wilayah ke wilayah-wilayah lain dalam lapangan kehidupan. Dengan perkataan ini,peredaan ketegangan berarti tercapainya equilibrium (keseimbangan) di antara wilayah-wilayah. Dengan demikian, ketegangan suatu wilayah tertentu bisa mereda, tetapi secara umum ketegangan di seluruh lapangan kehidupan belum tentu mereda.
2.2  Teori- teori Lapangan Dalam Psikologi Sosial
1.      Teori Lapangan tentang kekuasaan
Kekuasaan social (social power) menurut Cartwright adalah masalah yang sangat penting dalam menganalisis perilaku social. Cartwright mendasarkan teorinya pada definisi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin (1951) tentang kekuasaan (power) sebagai berikut:
“ Kekuasaan A atas B dalam rangka mengubah X menjadi Y pada bagai hasil (kuosien) antara daya maksimum yang dapat dipaksakan A terhadap B dengan daya tolak maksimum yang dapat dihasilkan oleh B untuk bergerak menuju kearah yang sebaliknya”.
Atas dasar definisi Lewin tersebut di atas, Cartwright merumuskan kembalinya suatu definisi yang tidak berintikan hasil bagi (kuosien/ratio), melainkan lebih berasaskan selisih. Reformulasi Cartwright tentang definisi kekuasaan berbunyi sebagai berikut:    “Kekuasaan A atas B dalam rangka mengubah X menjadi Y pada waktu tertentu sama dengan kekuatan maksimum dari daya-daya yang dapat dihasilkan oleh A ke jurusan tersebut (X ke Y), pada waktu tersebut”.
Cartwright, ia menyebutkan ketujuh istilah primitif itu adalah pelaku (egent), tindakan pelaku (act of agent), lokus (locus), hubungan langsung (direct joining), dasar motif (motive base), besaran (magnitude), dan waktu (time).
Arti dari istilah-istilah tersebut di atas diuraikannya sebagai berikut:
1)         Pelaku adalah suatu satuan yang dapat menghasilkan pengaruh atau menderita akibat. Pelaku-pelaku ini biasanya adalah orang , sedangkan bentuknya bisa berupa orang-perorangan, penitia, kelompok , badan hukum dan lain-lain.
2)         Tindakan pelaku adalah peristiwa yang menggiatkan atau menimbulkan suatu pengaruh (efek). Untuk menimbulkan efek ini, suatu pelaku harus melakukan suatu tindakan tertentu.
3)         Lokus adalah suatu tempat dalam tata ruang.
Tempat ini bisa berarti “wilayah” dalam teori Lewin, tetapi bisa juga berarti kedudukan dalam kelompok atau organisasi dan bisa juga berarti suatu posisi  pada sebuah skala sikap, skala pendapat, dan sebagainya.
4)      Hubungan langsung berarti kemungkinan perpindahan langsung dari satu lokus ke lokus yang lain.
5)      Dasar motif adalah energi bawaan yang menggerankkan tingkah laku, antara lain kebutuhan (need), dorongan (drive), dan motif.
6)      Besaran adalah ukuran dari konstruk-konstruk (konsep-konsep) diatas. Ukuran tersebut bisa berupa angka-angka dengan tanda-tanda plus (+) atau minus (-).
7)      Waktu menunjuk pada berapa lama berlangsungnya suatu peristiwa. Indikator dari waktu bisa berupa ukuran-ukuran waktu fisik (jam, menit , detik, dan sebagainya).
Berdasarkan ketujuh istilah “ primitif “ tersebut di atas , Cartwright merumuskan daya terdiri dari tindakan pelaku, dasar motif, sepasang lokus yang berhubungan langsung , besaran , dan waktu. Daya inilah yang membentuk kekuasaan seperti yang telah diuraikan di atas.
2.      Teori tentang kekuasaan social
Teori yang dikembangkan oleh French ini terutama membahas proses pengaruh memengaruhi dalam kelompok, khususnya dalam kaitannya dengan dengan pendapat dan perubahan pendapat kelompok. Proses pengaruh memengaruhi itu menurut French melibatkan tiga pola ralasi dalam kelompok, yaitu hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota kelompok, pola komunikasi dalam kelompok, dan hubungan antar pendapat dalam kelompok. Dengan demikian , walaupun namanya teori kekuasaan social, teori French ini tidak secara eksplisit membicarakan kekuasaan social.
French mengemukakan bahwa ada lima macam kekuasaan dasar yang berpengaruh dalam hubungan antara dua orang yaitu:
1.        Kekuasaan rujukan (referent power, atau attraction power) yang didasari oleh perasaan saling menyukai dan saling beridentifikasi antara A dan B.
2.         Kekuasaan ganjaran (reward power) yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi ganjaran kepada B.
3.        Kekuasaan hukuman (coercive power) yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi hukuman kepada B.
4.        Kekuatan pengabsahan (legitimate power) , yang didasari oleh hak yang ada pada A untuk membenarkan atau menyalahkan tingkah laku B.
5.        Kekuatan keahlian (expert power) yang didasari pada persepsi B bahwa A lebih tahu (punya lebih banyak informasi) tentang hal-hal tertentu.
Berdasarkan lima kekuasaan dasar tersebut di atas, French mengemukakan tiga postulat (dalil) yang menyangkut hubungan kekuasaan, hubungan pendapat, dan perubahan pendapat.
Postulat 1: hasil daya yang ada pada A untuk memaksa B ke arah pendapat yang disetujui A sebanding dengan kekuatan dari kekuasaan-kekuasaan dasar yang ada pada A terhadap B.
Postulat 2: kekuatan daya pada A untuk memaksa perubahan pendapat B  ke arah yang disetujui A  berbanding terbalik dengan jarak perbedaan pendapat antara A dan B.
Postulat 3: dalam satu unit, seseorang yang dipengaruhi B akan mengubah pendapatnya sampai mencapai titik keseimbangan dimana daya adalah nol.
3.      Teori tentang kerja sama dan persaingan
Teori ini dikembangkan oleh Deutsch (1949) dan di dasarkan pada teori lapangan dari Kurt Lewin. Pusat perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) dalam kelompok kecil.
Perbedaan antara kerja sama dan persaingan menurut Deutsch terletak pada sifat wilayah-wilayah tujuan pada situasi tersebut. Dalam situasi kerja sama, wilayah yang menjadi tujuan dari seorang anggota kelompok atau sub-subkelompok yang bersangkutan jika individu-individu lain atau subkelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan itu.
Hipotesis-hipotesis berdasarkan definisi dan dampak kerja sama dan persaingan tersebut di atas, deutsch membuat sejumlah hipotesis sebagai berikut :
1.      Individu-individu dalam situasi kerja sama akan melihat diri mereka sendiri saling mendukung dan individu-individu dalam situasi persaingan akan melihat diri mereka sendiri saling menghambat.
2.      Tindakan subsitusi lebih banyak terjadi dalam situasi kerja sama dari pada situasi persaingan (substitusi berarti tindakan seseorang dapat digantikan oleh tindakan orang lain; tidak perlu dua orang melakukan tindakan yang sama).
3.      Lebih banyak tindakan yang dipandang positif ( menyenangkan) oleh anggota- anggota lain dalam kelompok kerja sama dari pada dalam kelompok persaingan.
3a. lebih banyak tindakan yang dipandang negatif  (tidak menyenangkan) oleh
      anggota-anggota lain dalam kelompok persaingan dari pada dalam
      kelompok kerja sama.
4.      Dalam kelompok kerja sama lebih banyak daya pada diri anggota kelompok yang diproduksi dan disalurkan kea rah yang sesuai dengan arah yang dimaksud oleh pihak pengarah (inducer) dari pada dalam kelompok persaingan.
4a. dalam diri masing-masing anggota kelompok kerja sama lebih banyak
       terdapat konflik dari pada dalam diri anggota-anggota kelompok
       persaingan.
5.      Anggota kelompok kerja sama akan lebih banyak saling menolong dari pada anggota kelompok persaingan.
5a. anggota kelompok persaingan akan lebih banyak saling menghambat dari
      pada anggota kelompok kerja sama.
6.      Dalam satu waktu tertentu lebih banyak aktivitas yang saling berkaitan (bekerja bersama-sama) antara anggota kelompok kerja sama dari pada anggota kelompok persaingan.
6a. dalam suatu jangka waktu, lebih sering terjadi koordinasi usaha dalam
       situasi kerja sama dari pada situasi persaingan.
7.      Homogenitas dalam artian sumbangan atau partisipasi lebih besar dalam situasi kerja sama dari pada siruasi persaingan.
8.      Spesialisasi dari tugas dalam situasi kerja sama lebih besar dari pada situasi persaingan.
9.      Spesialisasi dari aktivitas dalam situasi kerja sama lebih besar dari pada situasi persaingan.
10.  Struktur tugas dalam situasi kerja sama lebih stabil dari pada situasi persaingan.
11.  Peralihan peran dalam rangka penyesuaikan terhadap perubahan lingkungan lebih dapat terjadi dalam situasi kerja sama dari pada dalam situasi persaingan.
12.  Arah dari daya dalam kelompok kerja sama lebih serupa satu sama lain dari arah dan daya dalam kelompok persaingan.
13.  Tekanan untuk berprestasi lebih berat dalam kelompok kerja sama dari pada kelompok persaingan.
14.  Kekuatan daya yang menuju kea rah tujuan , pada kelompok kerja sama lebih besar dari pada kelompok persaingan.
15.  Jumlah keseluruhan daya yang berkerja pada individu-individu dalam situasinya masing-masing tidak berbeda antara yang berada dalam situasi kerja sama dan situasi persaingan.
16.  Kalau tugas yang diberikan dapat diukur dengan lokomosi yang dapat dilihat (abservable)  tanda-tandanya, maka tanda-tanda itu akan lebih banyak terlihat pada kelompok persaingan per unit waktu dari pada kelompok kerja sama.
17.  Bila lokomosi dimungkinkan tanpa menimbulkan tanda-tanda, maka tanda-tanda yang akan timbul akan lebih banyak pada kelompok kerja sama per unit waktu dari pada kelompok persaingan.
18.  Perhatikan terhadap tanda-tanda yang ditimbulkan oleh orang lain lebih sedikit dalam kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
19.  Kesulitan komunikasi lebih besar dalam kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
20.  Kesulitan komunikasi lebih besar , bahkan jika saling perhatikan cukup tinggi , pada kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
21.  Saling setujuh dan saling menerima antara orang-orang yang saling berkomunikasi dalam kelompok kerja sama lebih terjadi dari pada kelompok persaingan.
22.  Anggota kelompok kerja sama akan lebih tahu tentang aktivitas dalam kelompoknya dari pada anggota kelompok persaingan.
23.  Orientasi pada kelompok lebih besar dalam kelompok kerja sama dari pada kelompok persaingan.
24.  Produktivitas per unit waktu lebih besar pada  kelompok kerja sama dari pada kelompok persaingan.
24a. waktu yang dibutukan oleh kelompok kerja sama untuk menghasilkan
         suatu jumlah produksi tertentu lebih singkat dari pada waktu yang
        dibutukan oleh kelompok persaingan untuk memproduksi jumlah yang
        sama.
25.  Kualitas hasil produksi dari kelompok kerja sama lebih tinggi dari pada kelompok persaingan.
26.  Anggota-anggota kelompok kerja sama lebih banyak saling belajar antarmereka dari pada anggota-anggota kelompok persaingan.
27.  Suasana bersahabat lebih  besar dalam kelompok kerja sama dari pada kelompok persaingan.
28.  Anggota kelompok kerja sama menilai hasil kerja kelompoknyalebih tinggi dari pada penilaian anggota-anggota kelompok persaingan terhadap hasil kelompok mereka.
29.  Tugas bersama dalam kelompok kerja sama lebih besar persentasenya dari pada kelompok persaingan.
30.  Tugas perorangan lebih besar persentasenya dalam kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
31.  Pandangan seseorang terhadap sikap orang lain pada dirinya akan lebih realistis dalam kelompok persaingan.
32.  Sikap seseorang terhadap tugasnya sendiri dalam kelompok kerja sama lebih mirip dengan sikap orang-orang lain terhadap tugasnya itu dari pada dalam kelompok persaingan.
33.  Anggota kelompok kerja sama lebih banyak melihat dirinya sendiri sebagai anggota kelompok persaingan.
34.  Peleburan diri (incorporation) dengan sikap dari orang-orang lain pada umumnya (attitude of generalized others) lebih sering terjadi dalam kelompok kerja sama dari pada dalam kelompok persaingan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dijelaskan mengenai Macam-macam Teori Lapangan dalam Psikologi Sosial ada tiga antara lain:
1)        Teori Lapangan tentang kekuasaan
Kekuasaan social (social power) menurut Cartwright adalah masalah yang sangat penting dalam menganalisis perilaku social. Cartwright mendasarkan teorinya pada definisi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin (1951) tentang kekuasaan (power).  
2)        Teori tentang kekuasaan social
Teori yang dikembangkan oleh French ini terutama membahas proses pengaruh memengaruhi dalam kelompok, khususnya dalam kaitannya dengan dengan pendapat dan perubahan pendapat kelompok. Proses pengaruh memengaruhi itu menurut French melibatkan tiga pola ralasi dalam kelompok, yaitu hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota kelompok, pola komunikasi dalam kelompok, dan hubungan antar pendapat dalam kelompok.
3)        Teori tentang kerja sama dan persaingan
Teori ini dikembangkan oleh Deutsch (1949) dan di dasarkan pada teori lapangan dari Kurt Lewin. Pusat perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) dalam kelompok kecil.
Perbedaan antara kerja sama dan persaingan menurut Deutsch terletak pada sifat wilayah-wilayah tujuan pada situasi tersebut. Dalam situasi kerja sama, wilayah yang menjadi tujuan dari seorang anggota kelompok atau sub-subkelompok yang bersangkutan jika individu-individu lain atau subkelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan itu.


DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, S.W. 2011. Teori-Teori Psikologi Sosial . Jakarta: PT.Raja Grafindo.

 






0 comments:

Post a Comment