Saturday, March 8, 2014

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN PERADILAN INTERNASIONAL



BAB I
 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Secara umum dapat dikatakan bahwa para ahli hukum sudah mencapai kata sepakat tentang eksistensi dari keputusan badan peradilan atau yang lebih dikenal dengan sebutan yurisprudensi dan pendapat para sarjana hukum atau yang lebih dikenal dengan sebutan doktrin, sebagai sumber hukum internasional. Tiada seorang sarjana pun yang meragukan keduanya ini sebagai sumber hukum internasional dalam arti formal. Oleh karena itu kedua sumber hukum internasional ini yang dibahas secara serentak dalam makalah ini, tidak akan dibahas secara panjang lebar.
Meskipun keputusan badan-badan peradilan itu hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang berpekara, namun seringkali nilai hukum yang dikandung di dalamnya dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku umum. Demikian pula halnya dengan doktrin, yang sebenarnya bukan merupakan norma hukum positif, hanya berupa pendapat perorangan saja. Namun tidak dapat disangkal bahwa doktrin seringkali memiliki wibawa yang demikian tinggi sehingga dapat mempengaruhi trend atau kecenderungan dan perkembangan hukum internasional itu sendiri.[1]
1.2  Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu hanya dalam perumusan masalah mengenai “Keputusan-Keputusan Peradilan Internasional”.

1.3  Maksud dan Tujuan
Adapun maksud penulisan dalam makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas pemenuhan syarat dari mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Globalisasi.
Dalam melakukan penulisan makalah ini, bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang keputusan-keputusan peradilan internasional.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Sejarah Terbentuknya Peradilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional.
Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Internasional Permanen, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan.          
Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1)      Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa.
2)      Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasi kuat (BurhanTsani,1990;217).
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1)      Perjanjian internasional (International Conventions), baik yang bersifat umum maupun khusus.
2)      Kebiasaan internasional (International Custom).
3)      Prinsip-prinsip hukum umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
4)      Keputusan pengadilan (Judicial Decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya parapihak).
Kata sistem dalam kaitannya dengan peradilan internasional adalah unsur-unsur atau komponen-komponen lembaga peradilan internasional yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan dalam rangka mencapai keadilan internasional.
Komponen-komponen tersebut terdiri dari Mahkamah Internasional (The International Court of Justice), Mahkamah Pidana Internasional (The International Criminal Court), dan Panel Khusus dan Spesialis Pidana Internasional (The International Criminal Tribunals and Special Court).
2.2  Keputusan Badan-Badan Peradilan atau Yurisprudensi
Keputusan badan-badan peradilan atau yurisprudensi mencangkup seluruh keputusan badan peradilan. Jadi tidak hanya terbatas pada keputusan-keputusan badan peradilan internasional saja, seperti Keputusan Mahkamah Internasional, Keputusan Mahkamah Internasional Permanen, Keputusan Badan-Badan Arbitrase Internasional maupun Keputusan Mahkamah Hak-hak Asasi Manusia dan keputusan badan-badan peradilan internasional yang lainnya. Termasuk pula di dalamnya, keputusan badan-badan peradilan nasional negara-negara, badan arbitrase nasional maupun badan-badan peradilan nasional lainnya yang mungkin ada di dalam suatu negara.
Mengenai keputusan badan-badan peradilan internasional, kiranya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Keputusan badan-badan peradilan internasional, seperti misalnya keputusan Mahkamah Internasional ada pula yang merupakan pengukuhan atas nama hukum internasional baru. Isi, jiwa dan semangat yang terkandung di dalam keputusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktek dan ada pula yang diundang di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Dengan demikian keputusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku bagi para pihak yang berpekara saja, lama kelamaan berkembang menjadi norma hukum internasional yang berlaku umum.
Sebagai contoh dapat dikemukakan keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 yang terkenal dengan nama AngloNorwegian Fisheries Case yang mengukuhkan eksistensi penarikan garis pangkal lurus dari ujungf ke ujung (straight base line from point to point) yang semula hanya terapkan oleh Norwegia tetapi ditentang oleh Inggris. 1) Dengan keputusan Mahkamah ini maka beberapa negara yang situasi dan kondisi geografisnya serupa dengan Norwegia, mulai menerapkan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung dalam mengukur dan menentukan lebar laut teritorialnya. 2) Bahkan kemudian dalam konvensi Hukum Laut 1958,4 garis pangkal lurus dari ujung ke ujung ini diberikan tempat tersendiri yakni  dalam pasal 4 Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan. 3) Demikian pula Konvensi Hukum Laut 1982, garis pangkal lurus masih tetap dicantumkan yakni di dalam pasal 7.
Demikian pula Advisory Opinion Mahkamah Internasional pada tahun 1949 dalam Injuries Case atau Reparation Case atau Reparation for Injuries Case. 4) yang mengukuhkan kepribadian hukum internasional (Internasional Legal Personality) dan kemampuan hukum (legal capasity) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun yang dikukuhkan adalah kepribadian hukum internasional dan kemampuan hukum dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak pelak lagi bahwa advisory opinion Mahkamah ini diakui sebagai titik tonggak sejarah yang fundamental atas diterimanya organisasi internasional sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.
Keputusan-keputusan badan peradilan nasional seperti misalnya keputusan Mahkamah Agung dari suatu negara, terutama yang mengandung aspek-aspek hukum internasional, juga dapat berpengaruh besar terhadap hukum internasional. Dalam literatur-literatur hukum internasional karya penulis-penulis asing, seperti misalnya penulis Inggris, Amerika Serikat maupun Eropa Kontinetal, banyak kita jumpai kutipan-kutipan atas keputusan badan peradilan dari negara-negra tersebut. Hal ini menunjukan suatu badan peradilan nasional juga memberikan sumbangan positif bagi pembentukan hukum internasional.
Keputusan badan peradilan internasional yang tampak telah mempengaruhi dan menggeser norma hukum internasional lama dan menggantinya dengan norma hukum internasional baru adalah keputusan Pengadilan Bremen (Jerman Barat) dalam kasus nasionalisasi milik Belanda di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. 5) Dalam Kasus ini Pengadilan Bremen mengesampingkan norma hukum internasional lama tentang pembayaran ganti rugi dalam hal nasionalisasi milik asing nyang berdasarkan prinsip prompt, effective and adequate dengan prinsip baru yakni pembayaran yang berdasarkan pada kemampuan negara yang menasionalisasi. Norma hukum Internasional baru ini kemudian diikuti oleh negara-negara lain, terutama negara-negara sedang berkembang, dalam melakukan nasionalisasi milik asing di negara mereka masing-masing.
Selain dari itu, keputusan badan peradilan Amerika Serikat dalam kasus Mitsui & Co yang melibatkan pemerintah Indonesia, juga tidak kalah pentingnya dari sudut hukum internasional. Walaupun kasus ini bukanlah merupakan kasus internasional (publik), namun ternyata ada aspek hukum internasional (publik) yang timbul, yang dikenal dengan Doktrin Tindakan Negara Berdaulat atau “Act of State Doctrine. 6) Dalam kasus ini, tindakan Pemerintah Indonesia yang dianggap merugikan pihak penggugat (Mitsui & Co) karena melakukan pencabutan konsensi atas penebangan hutan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia, ditolak oleh badan peradilan Amerika Serikat dengan alasan bahwa, tindakan Pemerintah Indonesia adalah sah sebagai tindakan sebuah negara berdaulat.
7) Juga keputusan Mahkamah Agung Nomor 346. K/kr/1980 atas kasus Mohanlal Kanchand. Dalam kasus ini Mahkamah Agung mengartikan kejahatan politik (political crime) itu dalam ruang lingkup yang luas, sehingga kejahatan penyelundupan yang dilakukan oleh Mohanlal Kanchand, tergolong sebgaai kejahatan politik. Kejahatab politik menurut keputusan Mahkamah Agung tersebut, kalau dihubungkan dengan doktrin, tidak saja yang tergolong sebagai kejahatan politik yang klasik atau kejahatan politik murni saja tetapi juga kejahatan politik campuran maupun kejahatan politik yang bertautan. 8) Keputusan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kasus esktradisi yang menyangkut kejahatan politik yang nanti pada suatu waktu akan dihadapi oleh Indonesia, baik posisi Indonesia sebagai negara peminta ataupun sebagai negara meminta.[2]

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·         Keputusan peradilan merupakan keputusan-keputusan memainkan peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum Internasional. Peradilan Internasional dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu organ perlengkapan PBB. Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional misalnya dalam sengketa-sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan telah memasukkan unsur-unsur baru kedalam hukum Internasional yang selanjutnya mendapatkan persetujuan negara-negara secara umum.
·         Keputusan- keputusan badan peradilan Internasional atau yurisprudensi antara lain: Keputusan Mahkamah Internasional, Keputusan Mahkamah Internasional Permanen, Keputusan Badan-Badan Arbitrase Internasional maupun Keputusan Mahkamah Hak-Hak Asasi Manusia.
Keputusan Badan Peradilan Internasional yang tampak telah mempengaruhi dan menggeser norma hukum internasional lama dan menggantinya dengan norma hukum internasional baru adalah keputusan Pengadilan Bremen (Jerman Barat) dalam kasus nasionalisasi milik Belanda di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dalam Kasus ini Pengadilan Bremen mengesampingkan norma hukum internasional lama tentang pembayaran ganti rugi dalam hal nasionalisasi milik asing nyang berdasarkan prinsip prompt, effective and adequate dengan prinsip baru yakni pembayaran yang berdasarkan pada kemampuan negara yang menasionalisasi. Norma hukum Internasional baru ini kemudian diikuti oleh negara-negara lain, terutama negara-negara sedang berkembang, dalam melakukan nasionalisasi milik asing di negara mereka masing-masing.
·         Jadi, peradilan internasional itu sangat diperlukan oleh suatu negara untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kemakmuran suatu negara.



DAFTAR PUSTAKA
Partiana I Wayana. 1990. Pengantar Hukum Internasional: Cet. I. Bandung: Mandar Maju.








[1]  I Wayana Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. (Bandung: Mandar Maju, 1990). hal, 234
[2]    I Wayana Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. (Bandung: Mandar Maju, 1990). hal, 235-237

0 comments:

Post a Comment