BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum dapat dikatakan bahwa para
ahli hukum sudah mencapai kata sepakat tentang eksistensi dari keputusan badan
peradilan atau yang lebih dikenal dengan sebutan yurisprudensi dan pendapat
para sarjana hukum atau yang lebih dikenal dengan sebutan doktrin, sebagai
sumber hukum internasional. Tiada seorang sarjana pun yang meragukan keduanya
ini sebagai sumber hukum internasional dalam arti formal. Oleh karena itu kedua
sumber hukum internasional ini yang dibahas secara serentak dalam makalah ini,
tidak akan dibahas secara panjang lebar.
Meskipun keputusan badan-badan peradilan
itu hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang berpekara, namun seringkali
nilai hukum yang dikandung di dalamnya dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku
umum. Demikian pula halnya dengan doktrin, yang sebenarnya bukan merupakan
norma hukum positif, hanya berupa pendapat perorangan saja. Namun tidak dapat
disangkal bahwa doktrin seringkali memiliki wibawa yang demikian tinggi
sehingga dapat mempengaruhi trend atau kecenderungan dan perkembangan hukum
internasional itu sendiri.[1]
1.2 Perumusan Masalah
Adapun
perumusan masalah yang dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu hanya dalam
perumusan masalah mengenai “Keputusan-Keputusan Peradilan Internasional”.
1.3 Maksud dan Tujuan
Adapun
maksud penulisan dalam makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas pemenuhan
syarat dari mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Globalisasi.
Dalam melakukan penulisan makalah
ini, bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang keputusan-keputusan
peradilan internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Terbentuknya Peradilan
Internasional
Pada
permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk
membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari
komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan
bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa
menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen
Internasional.
Namun,
walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Internasional Permanen,
bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945,
setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan
konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru.
Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut
Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah
Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada
dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama,
karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara
signifikan.
Secara umum, Mahkamah
Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1) Melaksanakan
“Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang
didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa.
2) Memberikan
“Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory
Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya
diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai
kuasa persuasi kuat (BurhanTsani,1990;217).
Sedangkan, menurut
Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum
internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1) Perjanjian
internasional (International Conventions), baik yang bersifat umum maupun
khusus.
2) Kebiasaan
internasional (International Custom).
3) Prinsip-prinsip
hukum umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
4) Keputusan
pengadilan (Judicial Decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
Mahkamah
Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu
didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal
ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa.
Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya
mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.Yang
dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan
ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah
satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak
yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar
Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus
perkara secara in-absensia (tidak hadirnya parapihak).
Kata
sistem dalam kaitannya dengan peradilan internasional adalah unsur-unsur atau
komponen-komponen lembaga peradilan internasional yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan dalam rangka mencapai keadilan
internasional.
Komponen-komponen
tersebut terdiri dari Mahkamah Internasional (The International Court of
Justice), Mahkamah Pidana Internasional (The International Criminal Court), dan
Panel Khusus dan Spesialis Pidana Internasional (The International Criminal
Tribunals and Special Court).
2.2 Keputusan Badan-Badan Peradilan
atau Yurisprudensi
Keputusan
badan-badan peradilan atau yurisprudensi mencangkup seluruh keputusan badan
peradilan. Jadi tidak hanya terbatas pada keputusan-keputusan badan peradilan
internasional saja, seperti Keputusan Mahkamah Internasional, Keputusan
Mahkamah Internasional Permanen, Keputusan Badan-Badan Arbitrase Internasional
maupun Keputusan Mahkamah Hak-hak Asasi Manusia dan keputusan badan-badan
peradilan internasional yang lainnya. Termasuk pula di dalamnya, keputusan
badan-badan peradilan nasional negara-negara, badan arbitrase nasional maupun
badan-badan peradilan nasional lainnya yang mungkin ada di dalam suatu negara.
Mengenai
keputusan badan-badan peradilan internasional, kiranya tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Keputusan badan-badan peradilan internasional, seperti
misalnya keputusan Mahkamah Internasional ada pula yang merupakan pengukuhan
atas nama hukum internasional baru. Isi, jiwa dan semangat yang terkandung di
dalam keputusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktek dan ada
pula yang diundang di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Dengan
demikian keputusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku bagi
para pihak yang berpekara saja, lama kelamaan berkembang menjadi norma hukum
internasional yang berlaku umum.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 yang
terkenal dengan nama AngloNorwegian Fisheries Case yang mengukuhkan eksistensi
penarikan garis pangkal lurus dari ujungf ke ujung (straight base line from
point to point) yang semula hanya terapkan oleh Norwegia tetapi ditentang oleh
Inggris. 1) Dengan keputusan Mahkamah ini maka beberapa negara yang situasi dan
kondisi geografisnya serupa dengan Norwegia, mulai menerapkan garis pangkal
lurus dari ujung ke ujung dalam mengukur dan menentukan lebar laut
teritorialnya. 2) Bahkan kemudian dalam konvensi Hukum Laut 1958,4 garis
pangkal lurus dari ujung ke ujung ini diberikan tempat tersendiri yakni dalam pasal 4 Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan. 3) Demikian pula Konvensi Hukum Laut 1982, garis
pangkal lurus masih tetap dicantumkan yakni di dalam pasal 7.
Demikian
pula Advisory Opinion Mahkamah Internasional pada tahun 1949 dalam Injuries
Case atau Reparation Case atau Reparation for Injuries Case. 4) yang
mengukuhkan kepribadian hukum internasional (Internasional Legal Personality)
dan kemampuan hukum (legal capasity) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun
yang dikukuhkan adalah kepribadian hukum internasional dan kemampuan hukum dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak pelak lagi bahwa advisory opinion Mahkamah
ini diakui sebagai titik tonggak sejarah yang fundamental atas diterimanya
organisasi internasional sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.
Keputusan-keputusan
badan peradilan nasional seperti misalnya keputusan Mahkamah Agung dari suatu
negara, terutama yang mengandung aspek-aspek hukum internasional, juga dapat
berpengaruh besar terhadap hukum internasional. Dalam literatur-literatur hukum
internasional karya penulis-penulis asing, seperti misalnya penulis Inggris,
Amerika Serikat maupun Eropa Kontinetal, banyak kita jumpai kutipan-kutipan
atas keputusan badan peradilan dari negara-negra tersebut. Hal ini menunjukan
suatu badan peradilan nasional juga memberikan sumbangan positif bagi
pembentukan hukum internasional.
Keputusan
badan peradilan internasional yang tampak telah mempengaruhi dan menggeser
norma hukum internasional lama dan menggantinya dengan norma hukum
internasional baru adalah keputusan Pengadilan Bremen (Jerman Barat) dalam
kasus nasionalisasi milik Belanda di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. 5) Dalam Kasus ini Pengadilan Bremen mengesampingkan norma hukum
internasional lama tentang pembayaran ganti rugi dalam hal nasionalisasi milik
asing nyang berdasarkan prinsip prompt, effective and adequate dengan prinsip
baru yakni pembayaran yang berdasarkan pada kemampuan negara yang
menasionalisasi. Norma hukum Internasional baru ini kemudian diikuti oleh
negara-negara lain, terutama negara-negara sedang berkembang, dalam melakukan
nasionalisasi milik asing di negara mereka masing-masing.
Selain
dari itu, keputusan badan peradilan Amerika Serikat dalam kasus Mitsui & Co
yang melibatkan pemerintah Indonesia, juga tidak kalah pentingnya dari sudut
hukum internasional. Walaupun kasus ini bukanlah merupakan kasus internasional
(publik), namun ternyata ada aspek hukum internasional (publik) yang timbul,
yang dikenal dengan Doktrin Tindakan Negara Berdaulat atau “Act of State
Doctrine. 6) Dalam kasus ini, tindakan Pemerintah Indonesia yang dianggap
merugikan pihak penggugat (Mitsui & Co) karena melakukan pencabutan
konsensi atas penebangan hutan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia,
ditolak oleh badan peradilan Amerika Serikat dengan alasan bahwa, tindakan
Pemerintah Indonesia adalah sah sebagai tindakan sebuah negara berdaulat.
7)
Juga keputusan Mahkamah Agung Nomor 346. K/kr/1980 atas kasus Mohanlal
Kanchand. Dalam kasus ini Mahkamah Agung mengartikan kejahatan politik
(political crime) itu dalam ruang lingkup yang luas, sehingga kejahatan penyelundupan
yang dilakukan oleh Mohanlal Kanchand, tergolong sebgaai kejahatan politik.
Kejahatab politik menurut keputusan Mahkamah Agung tersebut, kalau dihubungkan
dengan doktrin, tidak saja yang tergolong sebagai kejahatan politik yang klasik
atau kejahatan politik murni saja tetapi juga kejahatan politik campuran maupun
kejahatan politik yang bertautan. 8) Keputusan ini tentu saja akan berpengaruh
terhadap kasus esktradisi yang menyangkut kejahatan politik yang nanti pada
suatu waktu akan dihadapi oleh Indonesia, baik posisi Indonesia sebagai negara
peminta ataupun sebagai negara meminta.[2]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
·
Keputusan peradilan merupakan
keputusan-keputusan memainkan peranan yang cukup penting dalam membantu
pembentukan norma-norma baru hukum Internasional. Peradilan Internasional
dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu organ
perlengkapan PBB. Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional misalnya dalam
sengketa-sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan telah memasukkan unsur-unsur
baru kedalam hukum Internasional yang selanjutnya mendapatkan persetujuan
negara-negara secara umum.
·
Keputusan- keputusan badan peradilan
Internasional atau yurisprudensi antara lain: Keputusan Mahkamah Internasional,
Keputusan Mahkamah Internasional Permanen, Keputusan Badan-Badan Arbitrase
Internasional maupun Keputusan Mahkamah Hak-Hak Asasi Manusia.
Keputusan
Badan Peradilan Internasional yang tampak telah mempengaruhi dan menggeser
norma hukum internasional lama dan menggantinya dengan norma hukum
internasional baru adalah keputusan Pengadilan Bremen (Jerman Barat) dalam
kasus nasionalisasi milik Belanda di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Dalam Kasus ini Pengadilan Bremen mengesampingkan norma hukum
internasional lama tentang pembayaran ganti rugi dalam hal nasionalisasi milik
asing nyang berdasarkan prinsip prompt, effective and adequate dengan prinsip
baru yakni pembayaran yang berdasarkan pada kemampuan negara yang
menasionalisasi. Norma hukum Internasional baru ini kemudian diikuti oleh
negara-negara lain, terutama negara-negara sedang berkembang, dalam melakukan
nasionalisasi milik asing di negara mereka masing-masing.
·
Jadi, peradilan internasional itu sangat
diperlukan oleh suatu negara untuk tetap mempertahankan eksistensi dan
kemakmuran suatu negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Partiana
I Wayana. 1990. Pengantar Hukum Internasional: Cet. I. Bandung: Mandar Maju.
0 comments:
Post a Comment