1.
Filosofis
hukum yang dianut oleh banyak negara
1)
Pandangan
hukum tentang Ketuhanan Yang Maha Esa
Dikemukakan
oleh Prof. Hazairin.
Indonesia
secara konkret menganut paham Ketuhanan. Hal ini kita dapat ketahui dari UUD
1945. Alinea ketiga Mukadimah UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: “Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.”
Pasal
29 UUD 1945 merumuskan sebagai berikut:
(1)
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa
(2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamana dan kepercaaan itu.
Kedua rumusan dalam UUD 1945 itu
menunjukkan dengan jelas dianutnya paham Ketuhanan oleh konstitusi kita. Pasal
29 menunjukkan ketuhanan menurut keyakinan/kepercayaan agama masing-masing.
Sedang rumusan mukadimah UUD 1945, “Atas berkat Rahmt Allah Yang Maha
Kuasa....,” jelas menunjukkan yang menjadi sumber proklamasi adalah Allah Yang
Maha Kuasa. Seterusnya, Allah Yang Maha Kuasa itu tentu menjadi sumber mengatur
kehidupan kita sesudah proklamasi yang berhasil dipertahankan, dan bahkan
berhasil membentuk negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
2)
Pandangan
hukum berdasarkan kemasyarakatan
Pandangan ini hanya
melihat hukum sebagai masalah manusia dan antar manusia. Unsur-unsur lain
seperti hubungan manusia dengan alam sekelilingnya.
2.
Pengertian
Hukum Islam, Syari’ah dan Fiqih serta perbedaan diantara ketiganya.
-
Pengertian
1) Hukum
Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian Islam. Dasar dan
kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak haanya mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan bendaa dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan
lainnya, karena manusia yang hidup dalam
masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.
2) Fiqh
secara etimologi berarti pehaman yang mendalam dan membutuh pengerahan
potensial akal. Pengetian tersebut dapat ditemukan dalam Al-qur’an surah An-Nisa ayat 78. Adapun pengertian
secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang
mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa kaidah (ushuliyah) maupun amaliah
(furu’ah).
3) Syari’ah
Kata syari’ah memilki
makna yang bermacam-macam. Secara bahasa, ada beberapa makna yang mengacu pada
makna syari’ah. Syari’ah berarti tempat kesumber air yang digunakan untuk
minum, atau sumber air yang dapat diambil tanpa menggunakan tali timba.
Beberapa juga mengatakan bahwa istilah syara’i (bentuk jamak dari syari’ah)
merupakan kata yang biasa beredar dikalangan generasi Islam terdahulu. Ibnu
Sa’ad mencacat, orang-orang yang baru masuk Islam (muallaf) suatu ketika datang
kepada Nabi saw. Dan memintanya agar mengirimkan di antara para sahabatnya
untuk mengajari mereka tentang syara’i al-Islam. Kata syara’i disini lebih
menunjuk pada arti agama atau masalah-masalah pokok Islam dan tidak dimaksudkan
untuk menunjuk arti hukum Islam secara spesifik.
-
Perbedaan
·
Hukum islam menekankan pada final goal,
yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia.
dan kemajuan umuat melalui proses siyasah syariyyah, dengan produk qanun atau
perundang-undangan.
·
Syari’ah mempunyai bidang cakup yang
lebih luas karena meliputi kepercayaan dan akhlak disamping hukum-hukum
perbuatan yang menjadi bidang bahasan fiqh.
·
Syari’ah merupakan induk fiqh, dan tidak boleh
bertentangan.
·
Hukum-hukum yang ditetapkan fiqh seluruhnya
berdasarkan syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma aqidah dan
akhlak yang sudah jelas di dalam Al-qur’an dan Hadits.
·
Syari’ah berkedudukan paling tinggi
karena datangnya dari Allah.
·
Fiqh sebagai ilmu adalah kajian manusia,
yang terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.
·
Kebenaran syari’ah adalah mutlak, sedang
fiqh kebenarannya bersifat nisbi (tidak mutlak).
·
Fiqh mempelajari tentang hukum-hukum
syari’ah yang sifatnya amliah (praktek/perbuatan manusia).
3.
Asas
dan Prinsip Hukum Islam
Asas
berasal dari kata asasun yang artinya dasar, basis, pondasi. Secara terminologi
asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar. Jika dihubungkan dengan
hukum, asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan
berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum
berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan
dengan hukum.
1)
Asas-asas
Hukum Islam
a.
Asas-asas
umum
Asas-asas umum hukum
Islam yang meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum Islam adalah
(1) Asas
Keadilan
Asas keadilan merupakan
asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Di dalam al-Qur’an kedudukan dan
fungsi kata keadilan disebut lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah Allah dan
ilmu pengetahuan (A.M Saefuddin, 1983:45).
(2) Asas
Kepastian Hukum
Asas kepasian hukum
erkandung di dalam sura bani israil ayat 15 dan al-Maidah ayat 95. Dari ke dua
bagian ayat-ayat tersebut disimpulkan asas kepastian hukumyang menyatakan bahwa
tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan
hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan
itu.Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum Islam (Anwar Harjono, 1968:155).
(3) Asas
Kemanfaatan
Asas kemanfatan adalah
asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum tersebut. Dalam
melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum, segoyanya dipertimbangkan asas
kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi kepentingan
masyarakat.
b.
Asas-asas
Hukum Pidana
(1) Asas
Legalitas
Asas legalitas adalah
asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum
ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini didasarkan pada al-Qur’an surat
al-Isra ayat 15 dan surat al-An’am ayat 19.
(2) Asas
larangan memindahkan kesalahan pada orang lain.
Asas ini terdapat di
dalam berbagai surat dan ayat al-Qur’an antara lain dalam surat al-Muddatsisi
ayat 38 dan surat al-An’am ayat 164.
(3) Asas
praduga tidak bersalah
Seseorang yang dituduh
melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan
bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.
c.
Asas-asas
Hukum Perdata
Di lapangan hukum
perdata terdapat asas-asas hukum Islam yang menjadi tumpuan atau landasan untuk
melindungi kepeningan pribadi seseorang. Di antaranya adalah:
(1) Asas
kebolehan atau mubah
Asas ini menunnjukkan
kebolehan melakukan semua hubungan perdata (sebagian dari hubungan muamalah)
sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
(2) Asas
kemaslahatan hidup
kemaslatan hidup adalah
segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna, berfaedah bagi kehidupan.
Asas kemaslahatan hidup adalah asas yang mengandung makna bahwa hubungan
perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan,
berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat,
kendatipun tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
(3) Asas
kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung
makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela.
(4) Asas
menolak mudarat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung
makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata ang mendaangkan
kerugian (mudarat) dan mengembangkan (hubungan perdata) yang bermanfaat bagi
diri sendiri dan masyarakat.
(5) Asas
kebajikan (kebaikan)
Asas ini mengandung
arti bahwa seiap hubungan perdata seyogyanya mendatangkan kebajikan (kebaikan)
kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat.
(6) Asas
kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas yang didasarksn
psda hormat menghormati, kasih mengasihi serta tolong-menolong dalam mencapai
tujuan bersama.
(7) Asas
adil dan berimbang
Asas ini mengandung
makna bahwa hubungsn perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan,
penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.
(8) Asas
mendahulukan kewajiban dari hak
Asas ini mengandung
arti bahwa dalam pelaksanaan hubungan perdata, para pihak harus mengutamakan
penuaian kewajibanna lebih dahulu dari menuntut hak.
(9) Asas
larangan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Asas ini mengandung
arti bahwa para pihak yang mengadakan hubungan perdaa tidak boleh merugikan
diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya.
(10)
Asas kemampuan berbuat dan bertindak
Pada dasarnya setiap
manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat
untuk bertindak mengadakan hubungan itu.
(11)
Asas kebebasan berusaha
Asas ini mengandung
makna bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan
sesuatu bagi dirinya sendiri dan keluarga.
(12)
Asas mendapatkan hak karena usaha dan
jasa
Asas ini mengandung
makna bahwa seseorang akan mendapat hak, misalnya, berdasarkan usaha dan jasa,
baik ang dilakukannya sendiri maupun yang diusahakannya bersama-sama orang
lain.
(13)
Asas perlindungan hak
Asas ini mengeandung
arti semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus
dilindungi.
(14)
Asas hak milik berfungsi sosial
Asas ini menyangkut
pemanfaatan hak milik ang dipunyai oleh seseorang. Menurut ajaran Islam hak
milik idak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja,
tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejaheraan sosial.
(15)
Asas yang beritikad baik harus
dilindungi
Asas ini berkaian erat
dengan asas lain yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan tertentu
bertanggungjawab atau menanggung risiko perbuatannya.
(16)
Asas risiko dibebankan pada harta, tidak
pada pekerjaan
Asas ini mengandung
penilaian yang tinggi erhadap kerja dan pekerjaan, berlaku terutama di
perusahaan-perusahaan yang merupakan persekutuan antara pemilik modal (harta)
dan pemilik tenaga (kerja).
(17)
Asas mengatur dan memberi petunjuk
Sesuai deengan sifat
hukum keperdataan pada umumnya, dalam hukum Islam berlaku asas yang menyatakan
bahwa ketentuan-ketentuan hukum perdata, kecuali yang bersifat ijbari karena
ketentuannya telah qath’i hanyalah bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja
kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata.
(18)
Asas tertulis atau diucapkan di
depan saksi
Asas ini mengandung
makna bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian terulis di
hadapan saksi-saksi (Q.s. al-Baqarah (2):282).
d.
Asas-asas
Hukum Perkawinan
(1) Asas
kesukarelaan merupakan asas
terpenting perkawinan Islam.
(2) Asas
persetujuan, kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis
asas pertama tadi.
(3) Asas
kebersamaan memilih pasangan, juga disebutkan
dalam Sunnah Nabi.
(4) Asas kemitraan
suami isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat
(sifat asal, pembawaan) disebut dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 34 dan
surat al-Baqarah (2) ayat 187.
(5) Asas
untuk selama-lamanya, menunjukan
bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta
serta kasih sayang sealama hidup (Q. s. ar-Rum (30):21).
(6) Asas
monogami terbuka, disimpulkan dari
al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 3 jo ayat 129.
e.
Asas-asas
Hukum Kewarisan
(1) Asas
ijbari mengandung arti bahwa
peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah taanpa digantungkan kepada kehendak pewaris
atau ahli waris.
(2) Asas
bilateral, berarti bahwa seseorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat
keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan.
(3) Asas
individual menyatakan bahwa ahli
waris untuk dimiliki secara perorangan.
(4) Asas
keadilan yang berimbang mengandung
arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban,
antara hak yang diperoleh seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
(5) Asas
akibat kematian adalah asas yang
menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia.
2)
Prinsip-Prinsip
Hukum Islam
Prinsip-prinsip hukum
Islam yang dijadikan landasan ideal dalam hukum Islam menurut Juhaya S. Pradja
(1998: 37), yaitu:
(1) Prinsip
Tauhidullah, bahwa semua paradigma berpikir yang termuat dalam Al-qur’an dan Al-hadits, dalam
konteks ritual maupun sosial, harus bertitik tolak dari nilai-nilai ketauhidan,
yakni tentang segala yang ada dan yang mungkin ada, bahkan mushtahil ada adalah
diciptakan oleh Allah s.w.t., maka kata Rabbul’alamin dapat dikatakan bahwa Allah
Maha Intelektual yang memiliki iradah atas segala sesuatu.
(2) Prinsip
Insaniyah, (prinsip kemanusiaan), bahwa produk akal manusia dijadikan rujukan
dalam perilaku sosial maupun sistem budaya harus bertitik tolah dari
nilai-nilai kemanusiaan, memuliakan mansia dan memberikan manfa’at serta
menghilangkan kemudharatan bagi manusia.
(3) Prinsip
Tasamuh, (prinsip toleransi), sebagai titik tolak pengalaman hukum Islam,
karena cara berpikir manusia yang berbeda-beda, satu sama lain harus saling
menghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil pemikiran manusia bersifat
relatif.
(4) Prinsip
Ta’awun, (prinsip tolong-menolong), sebagai titik tolak kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
(5) Prinsip
Silaturrahmi Baina An-Nas, sebagai titik tolak bahwa setiap individu dengan
individu lainnya akan melakukan interaksi, karena manusia adalah human relation
yang secara fitrahnya menjadikan silaturrahmi sebagai embiro terciptanya
masyarakat, prinsip ini bisa juga disebut prinsip Ta’aruf, sebagaimana dalam
surah Al-hujuraat ayat 13, Allah berfirman yang artinya: “Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”. (Qs. Al-hujuraat: 13).
(6) Prinsip
keadilan atau Al-mizan, (keseimbangan) antara hak dan kewajiban. Sebagai titik
tolak kesadaran setiap manusia terhadap hak-hak orang lain dan kewajiban
dirinya. Jika ia berkewajiban melakukan sesuatu, ia berhak menerima sesuatu.
Keduanya harus berjalan seimbang dan dirasakan adil untuk dirinya dan orang
lain.
(7) Prinsip
Kemashlahatan, yaitu yang bertitik tolak dari kaidah penyusunan argumentasi
dalam berprilaku, bahwa meninggalkan
kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfa’atnya. Operasi
rasionalisasi kaidah ini berhubungan dengan kaidah yang menyatakan bahwa
kemashlahatan umum lebih didahulukan daripada kemashlahatan khusus
4.
Sumber-sumber
Hukum Islam
Sumber-sumber
hukum islam adalah:
1) Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber
hukum Islam pertama dan utama. Ia memuat
kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan
dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat Islam yang dibenarkan oleh
penelitian ilmiah terakhir (Maurice Bucaille, 1979:185), Al-Qur’an adalah kitab
suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Al-Qur’an berasal
dari kata kerja qara-a artinya (dia telah) membaca. Kata kerja qara-a ini berubah menjadi kata
kerja suruhan iqra’ artinya bacalah, dan berubah lagi menjadi kata benda
qur’an, yang secara harfiah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari.
Menurut para ahli, pada
garis-garis besarnya al-Qur’an memuat soal-soal yang berkenaan dengan 1)
akidah, 2) syari’ah baik (a) ibadah maupun (b) muamalah, 3) akhlak dalam semua ruang-lingkupnya, 4)
kisah-kisah umat manusia di masa lalu, 5) berita-berita tentang zaman yang akan
datang (kehidupan akhirat), dan 6) benih atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan,
dasar-dasar hukum atau hukum-hukum dasar yang berlaku bagi alam semesta,
termasuk manusia di dalamnya.
Menurut pandangan
Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah (1) hukum-hukum
i’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek
hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari pwmbalasan, Qada dan Qadar, (2) hukum-hukum akhlak yaitu
hukum –hukum Allahyang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari
sifat-sifat yang tercela, (3) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-hukum yang
bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian dan hubungan kerja sama
antar sesama manusia.
2) As-Sunnah
atau al-Hadits
As- Sunnah atau
al-Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, berupaa perkataan
(sunah qauliyah), perbuatan (sunah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah
atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab
hadis. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al-Qur’an.
3) Akal
pikiran (al-Ra’yu atau Ijtihad)
Sumber hukum Islam
ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha,
berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah
hukum yang fundamental yang terdapat dalam al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang
bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi dan merumuskannya sebagai
garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Akal adalah kunci untuk
memahami agama, ajaran dan hukum islam, juga merupakan ciptaan Allah untuk
mengembangkan dan menyempurnakan sesuatu.
Dalam al-Qur’an perkataan akal berkaitan dengan kata lain mislakan kata
ya’qilun artinya mereka yang berakal, ta’qilun artinya kamu (yang ) berakal dan
ayat-ayat yang menyuruh orang mempergunakan akalnya.
4) Metode-Metode
Berijtihad
Beberapa metode atau
cara berijtihad antara lain: (1) ijmak, (2) qiyas, (3) istidal, (4) al-masalih
al-mursalah, (5) istihsan, (6) istishab, (7) ‘urf dll.
(1) Ijmak
adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah
pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara di
tempat yang sama. Di Indonesia misalnya, ijmak mengenai kebolehan beristri
lebih dari seorang berdasarkan ayat al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 3, dengan
syarat-syarat tertentu, selain kewajiban berlaku adil yang disebut dalam ayat
tersebut, dituangkan dalam UU Perkawinan.
(2) Qiyas
adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena
persamaan illat (penyebab atau alasan)nya. Qiyas adalah ukuran, yang
dipergunakan oleh akal budi untuk membandingkan suatu hal dengan hal lain (H.
M. Rasjidi, 1980:457).
(3) Istidal
(baca: istidal)adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya
menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum
Islam (A. Siddik, 1982: 225).
(4) Masalih
al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah cara menemukan hukum
sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun
dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau
kepentingan umum (A. Azhar Basyir, 1983:3).
(5) Istihsan
adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah
ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
(6) Istisab
adalah merupakan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya
sampai ada dalil yang mengubahnya.
(7) Adat-Istiadat
atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap
terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
5) Hukum
Islam dan Perkembangan Masyarakat
Hukum Islam adalah
hukum Allah yang menciptakan alam semesta ini, termasuk manusia di dalamnya.
Hukum Islam terbagi menjadi dua yaitu, hukum yang tersurat dalam al-Qur’an dan
yang tersirat di balik hukum yang tersurat dalam al-Qur’an. Selain yang
tersirat dan tersurat itu, ada lagi hukum Allah yang tersembunyi di balik
al-Qur’an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang harus dicari, digali
dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui penalarannya.
5.
Pengertian,
Tujuan dan Hukum Perkawinan menurut
Islam
-
Pengertian
Menurut Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974 (UUP) perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 1). Lalu menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan,
bahwa perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Beberapa pakar
hukum juga memberikan pengertian tentang pengertian perkawinan. Prof. Subekti S.H
mengatakan perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu yang lama.
-
Tujuan
Perkawinan adalah
membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah (Perhatikan surat Ar Rum
21). Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
-
Hukum
Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan
dilihat dari kondisi orang yang akan melakukan perkawinan. Menurut hukum Islam,
hukumnya ada 5 yaitu sunnah, wajib, jaiz (kebolehan), makruh, dan Karam. Bagi
seseorang yang dipandang dari segi pertumbuhan jasmani telah wajar dan
cenderung untuk kawin dan sekadar biaya hidup telah ada maka baginya menjadi
sunnah, untuk melaksanakan perkawinan. melaksanakan perkawinan mendapat pahala
dan kalau tidak kawin tidak mendapat pahala. Sedangkan beralih menjadi wajib
apabila biaya hidup telah mencukupi dan dipandang dari sudut jasmani sudah
sangat mendesak untuk kawin, sehingga kalau tidak kawin akan terjerumus ke
penyelewengan maka menjadi wajib untuk kawin kalau tidak kawin akan mendapat
dosa dan kalau kawin dapat pahala.
Selain itu, hukum
perkawinan juga bisa jaiz atau kebolehan artinya orang boleh kawin dan boleh
tidak kawin bisa perkawinan hukumnya makruh apabila dilihat dari jasmani telah
wajar pertumbuhan jasmaninya tapi dilihat dari biaya belum mencukupi maka
hukumnya makruh. Kalau dalam perkawinan itu ada tujuan untuk menganiaya maka
hukumnya adalah haram.
6.
Hal
yang perlu diperhatikan sebelum perkawinan meliputi pasangan yang dianjurkan
untuk dipilih dalam islam, kemampuan sekufu/kesebandingan dan mukhrim
·
Adapun kriteria ideal dalam mencari
jodoh menurut Islam adalah teguh beragama. Rasulullah SAW menjamin kebahagiaan
dan keberuntungan bagi seseorang yang memilih calon pendamping hidup
berdasarkan agamanya. Dalam sebuah haditsnya disabdakan, “perempuan dinikahi
karena empat faktor: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka
menangkanlah wanita yang mempunyai agama, maka engkau akan beruntung”.
·
Kriteria yang tak kalah pentingnya
adalah penyayang dan subur. Dengan kriteria ini diharapkan dapat melahirkan
generasi yang bisa melanjutkan perjuangan Islam sebagaimana tujuan pernikahan
itu sendiri. Wanita yang sehat dan kuat fisiknya biasanya mampu melahirkan
banyak anak. Selain dapat dapat memikul beban rumah tangga, ia juga dapat
menunaikan kewajiban mendidik anak dan menjalankan tugas sebagai isteri yang
sempurna.
·
Selanjutnya adalah memilih perempuan
yang perawan. Hal ini dikarenakan biasanya wanita perawan lebih mesra dan lebih
mudah hamil dari pada yang janda. Kemesraan itu sendiri dapat menciptkan
keharmonisan dalam rumah tangga. Sementara bagi kalangan wanita yang mencari
pasangan suami hendaknya mengutamakan laki-laki yang mampu memberi nafkah, baik
lahir maupun batin. Namun demikian, ia tetap harus memperhatikan kebaikan
agamanya dan memprioritaskannya dari pada kriteria yang lain.
·
Kriteria lain yang perlu diperhatikan
adalah mengutamakan orang yang jauh dari kekerabatan, kafa’ah (sekufu), dan
menyenangkan jika dipandang. Semua kriteria yang telah dijelaskan oleh Islam
ini tidak lain untuk kepentingan pasangan suami istri itu sendiri baik di dunia
maupun di akhirat. Agar mereka semua menjadi keluarga yang sakinah mawaddah
warahmah, seperti yang diinginkan oleh semua orang.
7.
Hal
yang perlu diperhatikan sesudah perkawinan :
-
Prinsip
dalam perkawinan Islam
Dalam ajaran Islam ada
beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
a. Harus
ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.
Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah
kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang
pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita
yang harus diindahkan.
c. Perkawinan
harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang
menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan
itu sendiri.
d. Perkawinan
pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram,
damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
e. Hak
dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung
jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
-
Rukun
Perkawinan
Rukun perkawinan adalah
ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena
dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang
lain:
·
Ijab: ucapan yang terlebih dahulu
terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya
membangun ikatan.
·
Qabul: apa yang kemudian terucap dari
pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/ setuju atas apa yang tela
siwajibkan oleh pihak pertama. Dari shighah ijab dan qabul, kemudian timbul
sisa rukun lainnya, yaitu:
Ø Adanya
Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita. Adanya
wali dari calon istri.
Ø Adanya
dua orang saksi.
Perkawinan
di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut
dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974
tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam
undang-undang yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan
hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah
mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2
menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau
pihak wanita.
-
Syarat
Perkawinan
Syarat Perkawinan
adalah segala sesuatu yang pasti dan harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi
tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakekat pernikahan.
1. Syarat-syarat
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi:
a. Syarat-syarat
materil.
1) Syarat
materil secara umum adalah sebagai berikut :
·
Harus ada persetujuan dari kedua belah
pihak calon mempelai.
·
Usia calon mempelai pria
sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai
wanita harus sudah berumur 16 tahun.
·
Tidak terikat tali perkawinan dengan
orang lain.
2) Syarat
materil secara khusus, yaitu :
·
Tidak melanggar larangan perkawinan yang
diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu
larangan perkawinan.
·
Izin dari kedua orang tua bagi calon
mempelai yang belum berumur 21 tahun.
b. Syarat-syarat
Formil.
1) Pemberitahuan
kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.
2) Pengumuman
oleh pegawai pencatat perkawinan.
3) Pelaksanaan
perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
4) Pencatatan
perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
2. Syarat-syarat
Perkawinan Menurut Hukum Islam.
Perkawinan dapat
dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun adalah
unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap
perbuatan hukum.
Menurut Hukum Islam
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah :
a. Syarat
Umum.
Perkawinan tidak boleh
bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
(221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya
dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh
mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24)
tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara
sesusuan.
b. Syarat
Khusus.
·
Adanya calon mempelai laki-laki dan
perempuan.
·
Harus ada wali nikah.
·
Saksi.
·
Ijab Kabul.
-
Wajib
dan sunnah dalam pelaksanaan perkawinan
Melaksanakan perkawinan
hukumnya adalah Sunnah. Karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Menikah itu adalah sunnah ku. Akan tetapi apabila kalian enggan untuk menikah,
maka kalian bukan dari golonganku.”. Dan dalam hadits yang lain, Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membenci sunnah ku, maka
ia bukan termasuk dalam golonganku.”
8.
Hak
dan Kewajiban suami isteri
Menurut
pasal 79, hak suami isteri antara lain:
1) Suami
adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
2) Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3) Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Menurut
Pasal 80-82, kewajiban suami antara lain:
1) Suami
wajib membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2) Suami
wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban suami ini gugur apabila
isteri nusyuz.
3) Suami
wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagia agama dan bangsa.
4) Sesuai
dengan penghasilannya, suami wajib menanggung: nafkah, biaya rumah tangga,
biaya pendidikan bagi anak
5) Suami
wajib menediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya.
6) Suami
wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya.
7) Suami
yang mempunyai isteri lebih dari seorang wajib memberi tempat tinggal dan biaya
hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang.
Menurut
pasal 83-84, kewajiban isteri antara lain:
1. Kewajiban
utama seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Isteri
berkewajiban menyelnggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
9.
Hal
yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan.
Perkawinan
dapat putus karena:
1) Kematian
2) Perceraian
3) atas
putusan Pengadilan (Pasal 113 KHI)
Putusnya
perkawinan perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal:
-
talak
-
berdasarkan gugatan perceraian (Pasal
114 KHI)
Perceraian
hanya dapat dilakukan lewat sidang Pengadilan Agama setelah sidang Pengadilan
Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Perceraian tersebut baru sah terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan (Pasal 123 KHI).
Dalam
pasal 8 dan 9 KHI diatur bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati hana dapat
dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang
berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik. Apabila
bukti tidak ditemukan karena hilang dan sebagaina, maka dapat dimintakan
salinanya kepada Pengadilan Agama. Dalam hal surat bukti tidak dapat diperoleh,
maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
10. Iddah (masa tunggu) dan rujuk
-
Iddah (masa tunggu) merupakan masa
transisi di mana salah satu pasangan (iddah karena cerai mati) atau kedua
pasangan (iddah karena cerai hidup) dapat berpikir jernih dan bijaksana untuk
mengambil keputusan selanjutnya. Dalam KHI pasal 15 menebutkan: “ Bagi seorang
isteri ang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla
al dukhul dan perkawinanna putus bukan karena kematian suami. Ketentuan KHI
tentang iddah ternata tidak berlaku bagi isteri yang belum dicampuri atau qobla
al dukhul.
Menurut pasal 88 KHI
antara lain: (1) Bagi suami dan isteri yang perkawinannya telah dinyatakan
putus oleh Pengadilan. Agama berlaku masa transisi atau iddah. (2) Selama dalam
masa transisi, mantan suami atau mantan isteri dibolehkan rujuk.
-
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah
tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu didasarkan kepada pandangan
ulama fiqh bahwa rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak
khusus itu dipahami dari firman Allah dalam surat al-Baqarah(2) ayat 228, yang
artinya “Suami mereka lebih berhak untuk merujukinyajika mereka menginginkan
melakukan ishlah atau damai.
Adapun ucapan yang
dijadikan sebagai cara untuk rujuk ada dua macam. Pertama ucapan sharih yaitu
ucapan yang jelas untuk tujuan rujuk yang digunakan dalam al-Qur’an untuk rujuk
yaitu lafaz:ra-ja-‘a; am-sa-ka; dan radda, seperti yang terdapat dalam firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 dan surat at-Thalaq ayat 2. Adapun selain
dari itu termasuk dalam pengertian lafaz kinayah dan untuk kesahannya
diperlukan niat.
11. UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.
-
Garis Besar isi UU No. 1 Tahun 1974
Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab, dan terbagi dalam 67 pasal.
Isi masing-masing bab itu secara garis besar adalah sebagai berikut :
-
Bab
I : Dasar perkawinan, berisi
ketentuan mengenai :
1) Pengertian
dan tujuan perkawinan.
2) Sahnya
perkawinan.
3) Asas
monogami dalam perkawinan.
-
Bab
II : Syarat-syarat perkawinan, berisi ketentuan mengenai :
1) Persetujuan
kedua calon mempelai.
2) Izin
kedua orang tua
3) Pengecualian
persetujuan kedua calon mempelai dan izin kedua orang tua.
4) Batas umur perkawinan.
5) Larangan kawin.
6) Jangka
waktu tunggu.
7) Tata
cara pelaksanaan perkawinan.
-
Bab
III : Pencegahan perkawinan, berisi tentang :
1) Pencegahan
perkawinan
2) Penolakan
perkawinan
-
Bab IV : Batalnya perkawinan, yang
berisi ketentuan tentang dapat dibatalkannya suatu perkawinan, pihak yang dapat
mengajukan pembatalan, dan ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan
perkawinan.
-
Bab V : Perjanjian perkawinan, berisi
ketentuan tentang dapat diadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum
perkawinan oleh kedua belah pihak atas persetujuan bersama, dan mengenai
pengesahan mulai berlakunya, serta kemungkinan perubahan perjanjian tersebut.
-
Bab
VI : Hak dan kewajiban suami istri, yang berisi ketentuan tentang hak
dan kewajiban suami istri, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
-
Bab
VII : Harta benda dalam perkawinan, yang berisi ketentuan tentang harta
benda bawaan masing-masing.
-
Bab VIII : Putusnya perkawinan serta
akibatnya, yang berisi ketentuan tentang putusnya perkawinan dan
akibat-akibatnya.
-
Bab IX : Kedudukan anak, berisi
ketentuan tentang kedudukan anak yang
sah, dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
-
Bab
X : Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang berisi ketentuan
tentang hak dan kewajiban orang tua serta hak dan kewajiban anak.
-
Bab XI : Perwalian, yang berisi
ketentuan mengenai perwalian bagi anak yang belum mencapai 18 tahun dan tidak
berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
-
Bab
XII : Ketentuan-ketentuan lain.
-
Bab XIII : Ketentuan Perwalian.
-
Bab XIV : Ketentuan Penutup.
DAFTAR PUSTAKA
Suyatno.2011.
Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
Ali,
Muhammad, Daud. 1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Saebani,
Ahmad, Beni. Filsafat Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Jehani,
Libertus. 2008. Perkawinan, apa risiko hukumannya?. Jakarta: Forum Sahabat.
Mulati.
2012. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Pusaka Mandiri.
Sanusi,
M. 2012. Tuntunan Melamar dan Menikah Secara Islami untuk Pria dan Wanita.
Jakarta: Diva Press
Harjono,
Anwar. 1995. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam. Jakarta: Gema
Insani Press.
0 comments:
Post a Comment