Saturday, November 15, 2014

Hukum Islam (Filosofis, Asas, Prinsip, sumber)



1.      Filosofis hukum yang dianut oleh banyak negara
1)      Pandangan hukum  tentang Ketuhanan Yang Maha Esa
Dikemukakan oleh Prof. Hazairin.
Indonesia secara konkret menganut paham Ketuhanan. Hal ini kita dapat ketahui dari UUD 1945. Alinea ketiga Mukadimah UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Pasal 29 UUD 1945 merumuskan sebagai berikut:
(1)   Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(2)   Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamana dan kepercaaan itu.
Kedua rumusan dalam UUD 1945 itu menunjukkan dengan jelas dianutnya paham Ketuhanan oleh konstitusi kita. Pasal 29 menunjukkan ketuhanan menurut keyakinan/kepercayaan agama masing-masing. Sedang rumusan mukadimah UUD 1945, “Atas berkat Rahmt Allah Yang Maha Kuasa....,” jelas menunjukkan yang menjadi sumber proklamasi adalah Allah Yang Maha Kuasa. Seterusnya, Allah Yang Maha Kuasa itu tentu menjadi sumber mengatur kehidupan kita sesudah proklamasi yang berhasil dipertahankan, dan bahkan berhasil membentuk negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.                                     
2)      Pandangan hukum berdasarkan kemasyarakatan
Pandangan ini hanya melihat hukum sebagai masalah manusia dan antar manusia. Unsur-unsur lain seperti hubungan manusia dengan alam sekelilingnya.

2.      Pengertian Hukum Islam, Syari’ah dan Fiqih serta perbedaan diantara ketiganya.
-          Pengertian
1)      Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak haanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan bendaa dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya,  karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.
2)      Fiqh secara etimologi berarti pehaman yang mendalam dan membutuh pengerahan potensial akal. Pengetian tersebut dapat ditemukan dalam Al-qur’an  surah An-Nisa ayat 78. Adapun pengertian secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa kaidah (ushuliyah) maupun amaliah (furu’ah).
3)      Syari’ah
Kata syari’ah memilki makna yang bermacam-macam. Secara bahasa, ada beberapa makna yang mengacu pada makna syari’ah. Syari’ah berarti tempat kesumber air yang digunakan untuk minum, atau sumber air yang dapat diambil tanpa menggunakan tali timba. Beberapa juga mengatakan bahwa istilah syara’i (bentuk jamak dari syari’ah) merupakan kata yang biasa beredar dikalangan generasi Islam terdahulu. Ibnu Sa’ad mencacat, orang-orang yang baru masuk Islam (muallaf) suatu ketika datang kepada Nabi saw. Dan memintanya agar mengirimkan di antara para sahabatnya untuk mengajari mereka tentang syara’i al-Islam. Kata syara’i disini lebih menunjuk pada arti agama atau masalah-masalah pokok Islam dan tidak dimaksudkan untuk menunjuk arti hukum Islam secara spesifik.
-          Perbedaan
·         Hukum islam menekankan pada final goal, yaitu  mewujudkan kemaslahatan manusia. dan kemajuan umuat melalui proses siyasah syariyyah, dengan produk qanun atau perundang-undangan.
·         Syari’ah mempunyai bidang cakup yang lebih luas karena meliputi kepercayaan dan akhlak disamping hukum-hukum perbuatan yang menjadi bidang bahasan fiqh.
·          Syari’ah merupakan induk fiqh, dan tidak boleh bertentangan.
·          Hukum-hukum yang ditetapkan fiqh seluruhnya berdasarkan syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma aqidah dan akhlak yang sudah jelas di dalam Al-qur’an dan Hadits.
·         Syari’ah berkedudukan paling tinggi karena datangnya dari Allah.
·         Fiqh sebagai ilmu adalah kajian manusia, yang terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.
·         Kebenaran syari’ah adalah mutlak, sedang fiqh kebenarannya bersifat nisbi (tidak mutlak).
·         Fiqh mempelajari tentang hukum-hukum syari’ah yang sifatnya amliah (praktek/perbuatan manusia).
3.      Asas dan Prinsip Hukum Islam
Asas berasal dari kata asasun yang artinya dasar, basis, pondasi. Secara terminologi asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar. Jika dihubungkan dengan hukum, asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.
1)      Asas-asas Hukum Islam
a.      Asas-asas umum
Asas-asas umum hukum Islam yang meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum Islam adalah
(1)   Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Di dalam al-Qur’an kedudukan dan fungsi kata keadilan disebut lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan (A.M Saefuddin, 1983:45).
(2)   Asas Kepastian Hukum
Asas kepasian hukum erkandung di dalam sura bani israil ayat 15 dan al-Maidah ayat 95. Dari ke dua bagian ayat-ayat tersebut disimpulkan asas kepastian hukumyang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu.Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum Islam (Anwar Harjono, 1968:155).
(3)   Asas Kemanfaatan
Asas kemanfatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum tersebut. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum, segoyanya dipertimbangkan asas kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat.
b.      Asas-asas Hukum Pidana
(1)   Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Isra ayat 15 dan surat al-An’am ayat 19.
(2)   Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain.
Asas ini terdapat di dalam berbagai surat dan ayat al-Qur’an antara lain dalam surat al-Muddatsisi ayat 38 dan surat al-An’am ayat 164.
(3)   Asas praduga tidak bersalah
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.
c.       Asas-asas Hukum Perdata
Di lapangan hukum perdata terdapat asas-asas hukum Islam yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepeningan pribadi seseorang. Di antaranya adalah:
(1)   Asas kebolehan atau mubah
Asas ini menunnjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
(2)   Asas kemaslahatan hidup
kemaslatan hidup adalah segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna, berfaedah bagi kehidupan. Asas kemaslahatan hidup adalah asas yang mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan, berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat, kendatipun tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
(3)   Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela.
(4)   Asas menolak mudarat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata ang mendaangkan kerugian (mudarat) dan mengembangkan (hubungan perdata) yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
(5)   Asas kebajikan (kebaikan)
Asas ini mengandung arti bahwa seiap hubungan perdata seyogyanya mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat.
(6)   Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas yang didasarksn psda hormat menghormati, kasih mengasihi serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan bersama.
(7)   Asas adil dan berimbang
Asas ini mengandung makna bahwa hubungsn perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.
(8)   Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Asas ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan hubungan perdata, para pihak harus mengutamakan penuaian kewajibanna lebih dahulu dari menuntut hak.
(9)   Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang mengadakan hubungan perdaa tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya.
(10)           Asas kemampuan berbuat dan bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu.
(11)           Asas kebebasan berusaha
Asas ini mengandung makna bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri dan keluarga.
(12)           Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang akan mendapat hak, misalnya, berdasarkan usaha dan jasa, baik ang dilakukannya sendiri maupun yang diusahakannya bersama-sama orang lain.
(13)           Asas perlindungan hak
Asas ini mengeandung arti semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi.
(14)           Asas hak milik berfungsi sosial
Asas ini menyangkut pemanfaatan hak milik ang dipunyai oleh seseorang. Menurut ajaran Islam hak milik idak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejaheraan sosial.
(15)           Asas yang beritikad baik harus dilindungi
Asas ini berkaian erat dengan asas lain yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan tertentu bertanggungjawab atau menanggung risiko perbuatannya.
(16)           Asas risiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerjaan
Asas ini mengandung penilaian yang tinggi erhadap kerja dan pekerjaan, berlaku terutama di perusahaan-perusahaan yang merupakan persekutuan antara pemilik modal (harta) dan pemilik tenaga (kerja).
(17)           Asas mengatur dan memberi petunjuk
Sesuai deengan sifat hukum keperdataan pada umumnya, dalam hukum Islam berlaku asas yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum perdata, kecuali yang bersifat ijbari karena ketentuannya telah qath’i hanyalah bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata.
(18)           Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian terulis di hadapan saksi-saksi (Q.s. al-Baqarah (2):282).
d.      Asas-asas Hukum Perkawinan
(1)    Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting perkawinan Islam.
(2)    Asas persetujuan,  kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama tadi.
(3)    Asas kebersamaan memilih pasangan, juga disebutkan dalam Sunnah Nabi.
(4)    Asas  kemitraan suami isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 34 dan surat al-Baqarah (2) ayat 187.
(5)    Asas untuk selama-lamanya, menunjukan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang sealama hidup (Q. s. ar-Rum (30):21).
(6)    Asas monogami terbuka, disimpulkan dari al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 3 jo ayat 129.
e.       Asas-asas Hukum Kewarisan
(1)   Asas ijbari mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah taanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
(2)   Asas bilateral, berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan.
(3)   Asas individual menyatakan bahwa ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
(4)   Asas keadilan yang berimbang mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
(5)   Asas akibat kematian adalah asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia.
2)      Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan landasan ideal dalam hukum Islam menurut Juhaya S. Pradja (1998: 37), yaitu:
(1)   Prinsip Tauhidullah, bahwa semua paradigma berpikir yang  termuat dalam Al-qur’an dan Al-hadits, dalam konteks ritual maupun sosial, harus bertitik tolak dari nilai-nilai ketauhidan, yakni tentang segala yang ada dan yang mungkin ada, bahkan mushtahil ada adalah diciptakan oleh Allah s.w.t., maka kata Rabbul’alamin dapat dikatakan bahwa Allah Maha Intelektual yang memiliki iradah atas segala sesuatu.
(2)   Prinsip Insaniyah, (prinsip kemanusiaan), bahwa produk akal manusia dijadikan rujukan dalam perilaku sosial maupun sistem budaya harus bertitik tolah dari nilai-nilai kemanusiaan, memuliakan mansia dan memberikan manfa’at serta menghilangkan kemudharatan bagi manusia.
(3)   Prinsip Tasamuh, (prinsip toleransi), sebagai titik tolak pengalaman hukum Islam, karena cara berpikir manusia yang berbeda-beda, satu sama lain harus saling menghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil pemikiran manusia bersifat relatif.
(4)   Prinsip Ta’awun, (prinsip tolong-menolong), sebagai titik tolak kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
(5)   Prinsip Silaturrahmi Baina An-Nas, sebagai titik tolak bahwa setiap individu dengan individu lainnya akan melakukan interaksi, karena manusia adalah human relation yang secara fitrahnya menjadikan silaturrahmi sebagai embiro terciptanya masyarakat, prinsip ini bisa juga disebut prinsip Ta’aruf, sebagaimana dalam surah Al-hujuraat ayat 13, Allah berfirman yang artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. Al-hujuraat: 13).
(6)   Prinsip keadilan atau Al-mizan, (keseimbangan) antara hak dan kewajiban. Sebagai titik tolak kesadaran setiap manusia terhadap hak-hak orang lain dan kewajiban dirinya. Jika ia berkewajiban melakukan sesuatu, ia berhak menerima sesuatu. Keduanya harus berjalan seimbang dan dirasakan adil untuk dirinya dan orang lain.
(7)   Prinsip Kemashlahatan, yaitu yang bertitik tolak dari kaidah penyusunan argumentasi dalam berprilaku, bahwa  meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfa’atnya. Operasi rasionalisasi kaidah ini berhubungan dengan kaidah yang menyatakan bahwa kemashlahatan umum lebih didahulukan daripada kemashlahatan khusus



4.      Sumber-sumber Hukum Islam
Sumber-sumber hukum islam adalah:
1)      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum  Islam pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat Islam yang dibenarkan oleh penelitian ilmiah terakhir (Maurice Bucaille, 1979:185), Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Al-Qur’an berasal dari kata kerja qara-a artinya (dia telah) membaca.  Kata kerja qara-a ini berubah menjadi kata kerja suruhan iqra’ artinya bacalah, dan berubah lagi menjadi kata benda qur’an, yang secara harfiah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca  atau dipelajari.
Menurut para ahli, pada garis-garis besarnya al-Qur’an memuat soal-soal yang berkenaan dengan 1) akidah, 2) syari’ah baik (a) ibadah maupun (b) muamalah,  3) akhlak dalam semua ruang-lingkupnya, 4) kisah-kisah umat manusia di masa lalu, 5) berita-berita tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), dan 6) benih atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum atau hukum-hukum dasar yang berlaku bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.
Menurut pandangan Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah (1) hukum-hukum i’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari pwmbalasan, Qada dan Qadar, (2) hukum-hukum akhlak yaitu hukum –hukum Allahyang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, (3) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-hukum yang bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian dan hubungan kerja sama antar sesama manusia.
2)      As-Sunnah atau al-Hadits
As- Sunnah atau al-Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, berupaa perkataan (sunah qauliyah), perbuatan (sunah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadis. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al-Qur’an.

3)      Akal pikiran (al-Ra’yu atau Ijtihad)
Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi dan merumuskannya sebagai garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum islam, juga merupakan ciptaan Allah untuk mengembangkan dan menyempurnakan sesuatu.  Dalam al-Qur’an perkataan akal berkaitan dengan kata lain mislakan kata ya’qilun artinya mereka yang berakal, ta’qilun artinya kamu (yang ) berakal dan ayat-ayat yang menyuruh orang mempergunakan akalnya.
4)      Metode-Metode Berijtihad
Beberapa metode atau cara berijtihad antara lain: (1) ijmak, (2) qiyas, (3) istidal, (4) al-masalih al-mursalah, (5) istihsan, (6) istishab, (7) ‘urf dll.
(1)   Ijmak adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Di Indonesia misalnya, ijmak mengenai kebolehan beristri lebih dari seorang berdasarkan ayat al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 3, dengan syarat-syarat tertentu, selain kewajiban berlaku adil yang disebut dalam ayat tersebut, dituangkan dalam UU Perkawinan.
(2)   Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan illat (penyebab atau alasan)nya. Qiyas adalah ukuran, yang dipergunakan oleh akal budi untuk membandingkan suatu hal dengan hal lain (H. M. Rasjidi, 1980:457).
(3)   Istidal (baca: istidal)adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam (A. Siddik, 1982: 225).
(4)   Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum (A. Azhar Basyir, 1983:3).
(5)   Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
(6)   Istisab adalah merupakan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya.
(7)   Adat-Istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
5)      Hukum Islam dan Perkembangan Masyarakat
Hukum Islam adalah hukum Allah yang menciptakan alam semesta ini, termasuk manusia di dalamnya. Hukum Islam terbagi menjadi dua yaitu, hukum yang tersurat dalam al-Qur’an dan yang tersirat di balik hukum yang tersurat dalam al-Qur’an. Selain yang tersirat dan tersurat itu, ada lagi hukum Allah yang tersembunyi di balik al-Qur’an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui penalarannya.
5.      Pengertian, Tujuan  dan Hukum Perkawinan menurut Islam
-          Pengertian
Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 (UUP) perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1). Lalu menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan, bahwa perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Beberapa pakar hukum juga memberikan pengertian tentang pengertian perkawinan. Prof. Subekti S.H mengatakan perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
-          Tujuan Perkawinan  adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah (Perhatikan surat Ar Rum 21). Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam  mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
-          Hukum Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan dilihat dari kondisi orang yang akan melakukan perkawinan. Menurut hukum Islam, hukumnya ada 5 yaitu sunnah, wajib, jaiz (kebolehan), makruh, dan Karam. Bagi seseorang yang dipandang dari segi pertumbuhan jasmani telah wajar dan cenderung untuk kawin dan sekadar biaya hidup telah ada maka baginya menjadi sunnah, untuk melaksanakan perkawinan. melaksanakan perkawinan mendapat pahala dan kalau tidak kawin tidak mendapat pahala. Sedangkan beralih menjadi wajib apabila biaya hidup telah mencukupi dan dipandang dari sudut jasmani sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga kalau tidak kawin akan terjerumus ke penyelewengan maka menjadi wajib untuk kawin kalau tidak kawin akan mendapat dosa dan kalau kawin dapat pahala.
Selain itu, hukum perkawinan juga bisa jaiz atau kebolehan artinya orang boleh kawin dan boleh tidak kawin bisa perkawinan hukumnya makruh apabila dilihat dari jasmani telah wajar pertumbuhan jasmaninya tapi dilihat dari biaya belum mencukupi maka hukumnya makruh. Kalau dalam perkawinan itu ada tujuan untuk menganiaya maka hukumnya adalah haram. 
6.      Hal yang perlu diperhatikan sebelum perkawinan meliputi pasangan yang dianjurkan untuk dipilih dalam islam, kemampuan sekufu/kesebandingan dan mukhrim
·         Adapun kriteria ideal dalam mencari jodoh menurut Islam adalah teguh beragama. Rasulullah SAW menjamin kebahagiaan dan keberuntungan bagi seseorang yang memilih calon pendamping hidup berdasarkan agamanya. Dalam sebuah haditsnya disabdakan, “perempuan dinikahi karena empat faktor: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai agama, maka engkau akan beruntung”.
·         Kriteria yang tak kalah pentingnya adalah penyayang dan subur. Dengan kriteria ini diharapkan dapat melahirkan generasi yang bisa melanjutkan perjuangan Islam sebagaimana tujuan pernikahan itu sendiri. Wanita yang sehat dan kuat fisiknya biasanya mampu melahirkan banyak anak. Selain dapat dapat memikul beban rumah tangga, ia juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak dan menjalankan tugas sebagai isteri yang sempurna.
·         Selanjutnya adalah memilih perempuan yang perawan. Hal ini dikarenakan biasanya wanita perawan lebih mesra dan lebih mudah hamil dari pada yang janda. Kemesraan itu sendiri dapat menciptkan keharmonisan dalam rumah tangga. Sementara bagi kalangan wanita yang mencari pasangan suami hendaknya mengutamakan laki-laki yang mampu memberi nafkah, baik lahir maupun batin. Namun demikian, ia tetap harus memperhatikan kebaikan agamanya dan memprioritaskannya dari pada kriteria yang lain.  
·         Kriteria lain yang perlu diperhatikan adalah mengutamakan orang yang jauh dari kekerabatan, kafa’ah (sekufu), dan menyenangkan jika dipandang. Semua kriteria yang telah dijelaskan oleh Islam ini tidak lain untuk kepentingan pasangan suami istri itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Agar mereka semua menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, seperti yang diinginkan oleh semua orang.
7.      Hal yang perlu diperhatikan sesudah perkawinan :
-          Prinsip dalam perkawinan Islam
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
a.       Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b.       Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
c.       Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d.      Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
e.       Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
-          Rukun Perkawinan
Rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain:                               
·         Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
·         Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama. Dari shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:
Ø  Adanya Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita. Adanya wali dari calon istri.
Ø  Adanya dua orang saksi.
Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
-          Syarat Perkawinan
Syarat Perkawinan adalah segala sesuatu yang pasti dan harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakekat pernikahan.
1.      Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi:
a.       Syarat-syarat materil.
1)      Syarat materil secara umum adalah sebagai berikut :
·         Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.
·         Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.
·         Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
2)      Syarat materil secara khusus, yaitu :
·         Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan perkawinan.
·         Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.
b.      Syarat-syarat Formil.
1)      Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat  perkawinan.
2)      Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.
3)      Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
4)      Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
2.      Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam.
Perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.
Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah :
a.       Syarat Umum.
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
b.      Syarat Khusus.
·         Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.
·         Harus ada wali nikah.
·         Saksi.
·         Ijab Kabul.
-          Wajib dan sunnah dalam pelaksanaan perkawinan
Melaksanakan perkawinan hukumnya adalah Sunnah. Karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Menikah itu adalah sunnah ku. Akan tetapi apabila kalian enggan untuk menikah, maka kalian bukan dari golonganku.”. Dan dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membenci sunnah ku, maka ia bukan termasuk dalam golonganku.”
8.      Hak dan Kewajiban suami isteri
Menurut pasal 79, hak suami isteri antara lain:
1)      Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
2)      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3)      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Menurut Pasal 80-82, kewajiban suami antara lain:
1)      Suami wajib membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2)      Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban suami ini gugur apabila isteri nusyuz.
3)      Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagia agama dan bangsa.
4)      Sesuai dengan penghasilannya, suami wajib menanggung: nafkah, biaya rumah tangga, biaya pendidikan bagi anak
5)      Suami wajib menediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya.
6)      Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya.
7)      Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang wajib memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang.
Menurut pasal 83-84, kewajiban isteri antara lain:
1.      Kewajiban utama seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2.      Isteri berkewajiban menyelnggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
9.      Hal yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan.
Perkawinan dapat putus karena:
1)      Kematian
2)      Perceraian
3)      atas putusan Pengadilan (Pasal 113 KHI)
Putusnya perkawinan perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal:
-          talak
-          berdasarkan gugatan perceraian (Pasal 114 KHI)
Perceraian hanya dapat dilakukan lewat sidang Pengadilan Agama setelah sidang Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian tersebut baru sah terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan (Pasal 123 KHI).
Dalam pasal 8 dan 9 KHI diatur bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati hana dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik. Apabila bukti tidak ditemukan karena hilang dan sebagaina, maka dapat dimintakan salinanya kepada Pengadilan Agama. Dalam hal surat bukti tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
10.  Iddah (masa tunggu) dan rujuk
-          Iddah (masa tunggu) merupakan masa transisi di mana salah satu pasangan (iddah karena cerai mati) atau kedua pasangan (iddah karena cerai hidup) dapat berpikir jernih dan bijaksana untuk mengambil keputusan selanjutnya. Dalam KHI pasal 15 menebutkan: “ Bagi seorang isteri ang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinanna putus bukan karena kematian suami. Ketentuan KHI tentang iddah ternata tidak berlaku bagi isteri yang belum dicampuri atau qobla al dukhul.
Menurut pasal 88 KHI antara lain: (1) Bagi suami dan isteri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan. Agama berlaku masa transisi atau iddah. (2) Selama dalam masa transisi, mantan suami atau mantan isteri dibolehkan rujuk.
-          Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu didasarkan kepada pandangan ulama fiqh bahwa rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak khusus itu dipahami dari firman Allah dalam surat al-Baqarah(2) ayat 228, yang artinya “Suami mereka lebih berhak untuk merujukinyajika mereka menginginkan melakukan ishlah atau damai.
Adapun ucapan yang dijadikan sebagai cara untuk rujuk ada dua macam. Pertama ucapan sharih yaitu ucapan yang jelas untuk tujuan rujuk yang digunakan dalam al-Qur’an untuk rujuk yaitu lafaz:ra-ja-‘a; am-sa-ka; dan radda, seperti yang terdapat dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 dan surat at-Thalaq ayat 2. Adapun selain dari itu termasuk dalam pengertian lafaz kinayah dan untuk kesahannya diperlukan niat.
11.  UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
-          Garis Besar isi UU No. 1 Tahun 1974
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab, dan terbagi dalam 67 pasal. Isi masing-masing bab itu secara garis besar adalah sebagai berikut :
-          Bab  I  : Dasar perkawinan, berisi ketentuan mengenai :
1)      Pengertian dan tujuan perkawinan.
2)      Sahnya perkawinan.
3)      Asas monogami dalam perkawinan.
-          Bab  II : Syarat-syarat perkawinan, berisi ketentuan mengenai :
1)      Persetujuan kedua calon mempelai.
2)      Izin kedua orang tua
3)      Pengecualian persetujuan kedua calon mempelai dan izin kedua orang tua.
4)       Batas umur perkawinan.
5)       Larangan kawin.
6)      Jangka waktu tunggu.
7)      Tata cara pelaksanaan perkawinan.
-          Bab  III : Pencegahan perkawinan, berisi tentang :
1)      Pencegahan perkawinan
2)      Penolakan perkawinan
-          Bab IV : Batalnya perkawinan, yang berisi ketentuan tentang dapat dibatalkannya suatu perkawinan, pihak yang dapat mengajukan pembatalan, dan ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan perkawinan.
-          Bab V : Perjanjian perkawinan, berisi ketentuan tentang dapat diadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan oleh kedua belah pihak atas persetujuan bersama, dan mengenai pengesahan mulai berlakunya, serta kemungkinan perubahan perjanjian tersebut.
-          Bab  VI : Hak dan kewajiban suami istri, yang berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban suami istri, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
-          Bab  VII : Harta benda dalam perkawinan, yang berisi ketentuan tentang harta benda bawaan masing-masing.
-          Bab VIII : Putusnya perkawinan serta akibatnya, yang berisi ketentuan tentang putusnya perkawinan dan akibat-akibatnya.
-          Bab IX : Kedudukan anak, berisi ketentuan tentang kedudukan  anak yang sah, dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
-          Bab  X : Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban orang tua serta hak dan kewajiban anak.
-          Bab XI : Perwalian, yang berisi ketentuan mengenai perwalian bagi anak yang belum mencapai 18 tahun dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
-          Bab  XII : Ketentuan-ketentuan lain.
-          Bab XIII : Ketentuan Perwalian.
-          Bab XIV : Ketentuan Penutup.

 DAFTAR PUSTAKA
Suyatno.2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
Ali, Muhammad, Daud. 1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Saebani, Ahmad, Beni. Filsafat Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Jehani, Libertus. 2008. Perkawinan, apa risiko hukumannya?. Jakarta: Forum Sahabat.
Mulati. 2012. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Pusaka Mandiri.
Sanusi, M. 2012. Tuntunan Melamar dan Menikah Secara Islami untuk Pria dan Wanita. Jakarta: Diva Press
Harjono, Anwar. 1995. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

0 comments:

Post a Comment