BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kekuasaan sebagai kesempatan yang
ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri
dalam suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang
terlibat dalam tindakan tersebut.Kesempatan merupakan satu konsep yang sangat
inti dalam pengertian ini. Kesempatan dapat dihubungkan dengan ekonomi,
kehormatan, partai politik atau dengan apa saja yang merupakan sumber kekuasaan
bagi seseorang. Kesempatan seorang pejabat untuk melaksanakan kemauannya tentu
lebih besar dibanding kesempatan seorang petani. Kekuasaan tidak selamanya
berjalan lancar, karena dalam masyarakat pasti ada orang yang tidak setuju atau
melakukan perlawanan, baik secara terbuka atau terselubungterhadap kekuasaan.
Politik sering dihubungkan dengan
usaha mendapatkan kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, maupun dalam pelaksanaan
kekuasaan. Politik pada hakikatnya adalah bersih dan mulia, tetapi dalam
penerapannya seringkali politik menjadi kotor karena dicampuri oleh sifat
manusia yang serakah, angkuh, egois, dan sifat jelek manusia yang lain.Apabila
telah tercampuri dengan sifat negatif tersebut, kadangkala politik menjadi
sulit dibedakan antara politik bersih dan kotor. Politik juga akan semakin
memperbesar tabiat jelek manusia. Calon penguasa sering menggunakan kekerasan
dalam menumbangkan dan memperebutkan suatu kekuasaan. Selain itu, banyak pula
penguasa suatu bangsa menjadi otoriter dan cenderung menggunakan kekerasan
dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya dalam masyarakat.
Rakyat bukanlah benda, melainkan manusia, dan sebagai
manusia rakyat memiliki pesona. Namun sayang, pesona kerap kali dirusak oleh
kekuasaan dan kekerasan yang tidak berpihak pada rakyat. Dengan mudahnya rakyat
menjadi objek janji elite kekuasaan saat mereka membutuhkan dukungan rakyat.
Namun, setelah dukungan diberikan dengan tanpa pamrih, rakyat dimata para elite
pemegang kekuasaan tak lebih dari sebatang tebu, yang habis manis sepah
dibuang. Janji tinggal janji, tanpa realisasi. Setelah dibuang rakyat masih
menjadi objek kekerasan. Dimana dalam setiap terjadi kekerasan rakyatlah
yangpertama-tama menjadi korban. Rakyat lantas harus siap menjadi tumbal
kekuasaan dan kekerasan dari rezim yang satu ke rezim yang lain, dari zaman ke
zaman. Dalam perspektif manapun tidak seorangpun setuju apabila rakyat
dijadikan tumbal kekuasaan dan kekerasan, namun itulah yang terjadi dan kerap kali
mencoreng wajah Negeri ini.
Berbagai
macam jenis kekerasan yang terjadi di sekitar kita belakangan ini sungguh
memprihatinkan. Kekerasan demi kekerasan yang terjadi silih berganti cukup
menimbulkan kerisauan. Belum lagi selesai ditangani dengan tuntas, telah ada
bentuk kekerasan lain yang terjadi. Bahkan sampai ada yang berjarak hanya
beberapa jam saja. Kekerasan yang terjadi terus membuat resah, karena beberapa
kekerasan tersebut berakar dari permasalahan yang sama.Sebenarnya bentuk
kekerasan yang terjadi ada yang berasal dari bentuk kekerasan sebelumnya.
Sebagai contoh, kasus tentang terorisme tidak pernah habis untuk dibahas dan
selalu berkelanjutan. Selalu saja akan ada teror-teror selanjutnya yang lahir
dari dari serangan teroris yang pertama. Contoh lainnya adalah kejahatan
primordialisme kesukuan, pada awalnya konflik terjadi hanya antara dua orang saja
dari suku yang berbeda, kemudian konflik itu membesar dan melibatkan hampir
semua anggota suku.
Kekerasan, bagaimanapun, tidak bisa
berkembang hingga menjadi begitu besar dan
panjang dengan sendirinya. Reproduksi kekerasan menjadi berkembangbiak hingga panjang
dan tidak berujung didalangi oleh kekuasaan sebagai sumber kekuatan utama.
Kekerasan dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan, mereka telah menjadi seperti kembar
identik, dimana ada yang satu, pasti ada yang lainnya, kapan saja dan dimana saja.
B.
Perumusan Masalah
Dengan mengacu kepada
latar belakang di atas maka, dapat diajukan beberapa perumusan masalah yaitu:
2. Bagaimana konstruk dan mode pengelolaan kekuasaan?
3. Bagaimana pengelolaan kekuasaan dengan kekerasan?
C.
Pembatasan
Masalah
Adapun pembatasan
masalah yang dibahas oleh kami dalam makalah ini yaitu batasan masalah mengenai
“Kekuasaan dan Kekerasan” yang dibahas dalam buku makna kekuasaan dan
transformasi politik penulis Zainuddin Maliki.
D.
Maksud
dan Tujuan
Adapunmaksudpenulisandalammakalahiniyaitusebagaisalahsatutugaspemenuhansyaratdarimatakuliah
Sosiologi Politik.
Dalam melakukan
penulisan makalah ini, hal yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui pengertian
dan maksud dari kekuasaan dan kekerasan.
2.
Mengetahui konstruk
dan mode pengelolaan kekuasaan.
3.
Mengerti bagaimana
pengelolaan kekuasaan dengan kekerasan.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
KONSTRUK DAN MODE, PENGELOLAAN KEKUASAAN
A. KEKUASAAN : DEFINISI
DAN PERSPEKTIF
Hobbes mengartikan kekuasaan bagi
seseorang merupakan alat untuk meraih masa depan yang bagus. Sementara menurut
Montesquieu ada tiga typologi pemerintahan, yang masing-masing memiliki cara
mengelola kekuasaan yaitu republik. Republik di bagi menjadi 2 yaitu, Republik
demokratis & Republik
aristokratik, Monarki
dan Despotisme. Weber mengartikan
kekuasaan merupakan kemungkinan seseorang dalam relasi sosialnya berada dalam
posisi bisa menjalankan apa yang diinginkan, meski menghadapi resistensi. Dalam
definisi Weber terdapat dua hal yang harus dipahami, pertama kehendak atau apa
yang diinginkan seseorang di satu pihak, dan kedua pengaruh atau power yang
memungkinkan seseorang bisa menjalankan keinginannya meski mendapatkan
perlawanan. Tidak seperti Marx, dia melihat bahwa kekuasaan bukan bersumber semata-mata
dari kekuatan ekonomi, atau hubungan pemilikan secara private atas alat
produksi. Menurut dia, kekuasaan memiliki beberapa dimensi, meliputi kelas,
status dan pengorganisasian kedalam partai.
Kelas mengacu kepada tatanan ekonomi
masyarakat. Mengenai dimensi status mengacu kepada cara organisasi masyarakat
memunculkan perbedaan lantaran prestise atau kehormatan bagi kelompok individu
yang berbeda-beda. Adapun yang dimaksud dengan “partai” adalah cara kelompok
mengorganisasir diri dalam mencapai tujuan hidup. Partai-partai saling berupaya
meraih posisi, kehormatan dan kontrol atas tatanan sosial.Kontrol atas
masyarakat, dilakukan partai bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan,
melainkan juga untuk mencari keabsahan di mata kelompok yang dikuasai.Dalam
kajian islam, hubungan agama dan kekuasaan atau politik organik, memunculkan
klaim tidak ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga kekuasaan bukan
sekedar representasi, tetapi presentasi
dari agama. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan penganut perspektif
skrituralis cenderung berangkat dan asumsi descending
of power, dalam hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dengan
demikian penguasa tidak lain adalah representasi dari kekuasaan-Nya yang
kemudian muncul pemerintah teokratis.
Casanova mengemukakan bahwa, pemisahan agama
dan kekuasaan atau politik yang berakar dari faham sekularisme mengimplikasikan
tiga kemungkinan. Pertama, sekularisasi bermakna diferensiasi dan spesialisasi
yang memisahkan ranah agama dari negara, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan.
Kedua, sekularisasi bermakna sebagai representasi merosotnya keyakinan agama,
sehingga agama sama sekali kehilangan otoritasnya. Ketiga, bermakna privatisasi
yang mempostulkan bahwa agama diletakkan dalam ranah privat, individu memiliki otonomi
dan sistem pemaknaan secara subyektif namun kemudian tidak memiliki keabsahan
untuk mengambil ruang publik. Dengan kata lain, agama berada dalam posisi
marginal dalam kekuasaan atau proses modernisasi.
B.
MODE PENGELOLAAN KEKUASAAN
Kekuasaan
merupakan otoritas elite yang diberikan secara legal formal untuk menciptakan
kebaikan bersama. Adapula yang memandang kekuasaan sebagai representasi dari
kepentingan elite yang tidak otomatis dipergunakan untuk kebaikan bersama atau
untuk memberdayakan mereka yang lemah dan miskin.
1.
Konstruks elite tentang
kekuasaan
Kekuasaan yang dilakukan melalui praktek
dominasi dimunculkan ketika seorang atau sekelompok elite memaksa kelompok lain
(massa) melalui penggunaan secara langsung ancaman dan kekuatan atau kekerasan.
Menurut Gramsci ada dua konsep kekuasaan : Pertama, Rule (Dominio) kekuasaan
politik yang terekspresikan melalui cara-cara koersi, Kedua, Hegemony Kekuasaan
yang diekspresikan melalui jalinan politik, social dan budaya dengan cara
persuative (membujuk) dan mekanisme consensus (semua).
2.
Kontruks Jawa Tentang
Kekuasaan
Masyarakat jawa adalah komunitas etnis
yang memiliki sejarah panjang dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Bila pada
pandangan orang Jawa kekuasaan dan status berhubungan erat di mana politikus
dianggap sebagai orang tinggi kewibawaannya, maka pada pandangan Islam status
itu tidak berarti karena semua kekuasaan sesungguhnya terletak di tangan
Tuhan.Anderson mengimplikasikan kekuasaan dilihat dari perspektif barat menjadi tidak terpersonifikasi,
melainkan merupakan sebuah ranah yang bercorak abstrak, yang bisa diperoleh oleh siapa
yang mampu memenuhi syarat yang diminta.Konsep kekuasaan menurut orang jawa
bahwa kekuasaan dilihat sebagai:Kongkrit (ada, tidak tergantung pada orang yang
menggunakan), Homogen
(mempunyai jenis dan sumber yang sama), Besarnya dalam alam semesta (konstan), dan Tidak menimbulkan
pengesahan.
Pemanfaatan agama dalam pembentukan simbol-simbol kekuasaan itu menurut
Andersom berlangsung terutama sesudah abad ke-15. Dalam masyarakat jawa, gelar
dan kelengkapan kebangsawanan harus pula dilengkapi dengan penguasaan
spiritual. Oleh karena itu, sebelum memberontak terhadap belanda, pangeran
dipenogoro memilih berziarah ke tempat-tempat suci, makam-makam orang suci dan
penguasa terdahulu.
3.
Konstruk Pemikir Islam tentang Kekuasaan
Diskursus
agama dan politik, khususnya menyangkut pengelolaan kekuasaan (region-political
power) sebenarnya telah berkembang sejak abad tengah. Smith membagi pemikiran
agama dan politik secara dikotomis ke dalam tipologi regilio-political power
organik
di satu pihak dan sekuler di lain pihak.Menurut Swidler, misalnya hanya
representasi dari pemikiran Kristen. Dalam Islam banyak kazanah intelektual,
bukan saja perspektif sekularistik dan organik, melainkan juga muncul
persfektif lain yang lebih bercorak diferensiatif. Agama yang penuh simbol dan
code ritual yang bermuatan transedental diambil sebagai atribut baru tidak bagi elite-elite politik. Berakar dari asumsi
atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab alamiyah, Raziq
membangun klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif sekularistik.
C. MENGELOLA KEKUASAAN
DENGAN ENERGI AGAMA
Di negara sekuler yang menganut ideologi
liberal menempatkan agama sebagai alat justifikasi tindakan politiknya.
Sedangkan di negara sekuler yang menjadikan pikiran kritis sebagai ideologi
melihat agama sebagai alat hegemoni kelas borjuis. Sementara di negara organik lebih cenderung dijadikan sebagai
faktor nilai, tidak saja ditempatkan secara instrumental (zweckrationalitat)
melainkan sebagai nilai bertujuan (wetrationalitat).
1.
Agama
: Energi atau Political Laibility
Agama
dengan lambang, symbol dan energinya dijadikan sebagai alat mempertahankan
kekuasaan dengan segala privelese yang bisa dinikmatinya. Agama tidak diberi
makna sebagai payung suci melainkan terkait erat dengan urusan dan kehendak
manusia berkuasa. Dengan demikian Marx lebih berpandangan pesimistik dalam
melihat agama ketika agama berada di tangan elite, karena di sana agama
ditempatkan sebagai bagian dari bangunan atas (superstructure) yang dipakai
oleh kelas penguasa atau kaum borjuis untuk mempertahankan privelese di satu
pihak dan mengekalkan dominasi atau hegemoni mereka terhadap yang lemah. Dengan
demikian agama tidak akan menjadi kekuatan pengubah atas keadaan yang telah
mapan. Sebaliknya agama akan dapat digunakan untuk mengokohkan kemapanan itu
sendiri.
2. Fundamentalisme
Agama
Dalam memahami gerakan fundamentalisme
keagamaan terdapat perbedaan pendekatan, antara mereka yang menggunakan
perspektif obyektifis dan perspektif subyektivis. Bagi penganut perspektif
obyektivistik yang mengandaikan bahwa individu selalu bertekuk lutut terhadap
dunia diluar dirinya, memandang fundamentalisme agama lahir karena proses
internalisasi terhadap ajaran agama yang memuat doktrin atau dogma-dogma
normatif yang berwatak radikal. Pendekatan obyektif dalam hal ini memandang
bahwa revolusi sosial sangat dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan
psikologis yang berkaitan erat dengan sistem nilai keyakinan seseorang. Dengan
kata lain, radikalisme atau fundamentalisme adalah produk dari sistem keyakinan
seseorang yang diperoleh dari sumber ajaran agama yang radikal.
Fundamentalisme agama mengembangkan
“ideologi” perlawanan, terutama diarahkan kepada mereka yang membangun sistem
sosial yang dibangun atas dasar “ideologi” sekuler. Dalam perspektif
Durkheimian, agama merupakan sumber nilai dan pembentuk kesadaran kolektif.
Agama dengan berbagai perangkat nilai di dalamnya menentukan bentuk bangunan
sosial. Smith menyatakan bahwa agama justru dalam pengertian tradisionalnya
menyediakan kritik yang berharga bagi ideologi sekuler semacam ideologi yang
ditawarkan oleh Marxisme itu.Ackermann mencatat bahwa agama-agama besar selalu
terlibat dalam gerakan kritik. Agama kristen misalnya, sejak menunjukkan
keterlibatannya dalam melakukan kritik atas munculnya kesadaran kolektif yang
membuat kebekuan berpikir masyarakat Eropa, seperti yang terjadi dengan
kebangkitan agama Protestan radikal pada masa reformasi. Bagi Ackermann, agama
yang tidak dapat melancarkan kritik sosial berarti sudah mati.
Dengan demikian pemahaman atas munculnya
fenomena fundamentalisme agama tidak bisa mengesampingkan analisis struktural,
terutama dimensi ekonomi politik yang menguasai kehidupan masyarakat.
Fundamentalisme agama mencoba melawan tekanan-tekanan represif yang mengancam
sumber-sumber eksistensial ekonomi, politik maupun keagamaan mereka.
II.
PENGELOLAAN
KEKUASAAN DENGAN KEKERASAN
A.
MEMAHAMI
GEJALA KEKERASAN
Salah
satu maksud politik dibangun adalah untuk melembagakan penyelesaian konflik
agar konflik itu tidak melebar menjadi anarkisme dan kekerasan. Penyelesaian
konflik dan penghapusan praktik kekerasan dalam mengelola kekuasaan, dapat
dilakukan dengan memantapkan instrumen politik. Memahami tindakan kekerasan,
haruslah dikaitkan dengan cara individu memahami setting kehidupan yang
melatarbelakangi.
Steger
dan Lind menunjukkan sejumlah syarat-syarat struktural yang bisa memicu
munculnya kekerasan :
1.
Kekerasan menandai
terjadinya degradasi kualitas lingkungan.
2.
Kekerasan menandai
terjadinya ketimpangan distribusi sumber-sumber material
3.
Kekerasan menandai
munculnya ketidakpastian akan masa depan
Dengan
demikian, mengeliminasi atau mereduksi kekerasan, perlu dan bahkan harus
dilakukan dengan cara mematahkan jaringan pelaku kekerasan secara langsung.
Mengeliminasi kekerasan, setidak-tidaknya mensyaratkan kita untuk menata ketiga
faktor struktural sebagaimana diungkapkan Steger dan Lind, yakni dengan
berupaya memperbaiki kualitas lingkungan hidup, menata distribusi sumber-sumber
material yang adil serta memberikan kepastian akan masa depan. Fenomena
kekerasan power elite tersebut tidak bisa difahami hanya sebagai gejala
kekerasan konvensional, atau sebagai representasi dari perilaku marginal. Lebih
dari itu, kekerasan tidak bisa dibaca sebagai problema psikologi individual
atau impuls biologis, bahkan juga tidak bisa difahami sekedar dari faktor
sosio-struktural. Galtung berpendapat
bahwa kekerasan bukan saja gejala fisikal tetapi juga psikologis. Kekerasan
juga bisa dibedakan antara kekerasan langsung yang bersifat individual, seperti
membunuh dan atau vendetta dengan kekerasan struktural, seperti eksploitasi.
Menghapus kekerasan individual memang bisa menciptakan kedamaian tetapi
bersifat negatif dan belum tentu berdampak positif. Sementara itu, menghapus
kekerasan struktural berarti mewujudkan kedamaian positif.
Kekerasan
struktural muncul sebagai implikasi dari praktek ketidakadilan, sehingga dengan
dicapainya kedamaian positif, bermakna timbulnya rasa keadilan sosial. Kekerasan diberi makna sebagai “bajingan”
yang menyimpang dari norma dan melawan hukum kolektif. Perspektif ini
merekomendasi penyelesaian kekerasan dengan cara menangkap pelakunya,
menghukum, dan menyeretnya kedalam penjara. Dalam praktek nyatanya, penjara
banyak yang gagal melakukan fungsinya. Oleh karena itu memahami kekerasan di
Indonesia, tidak cukup memakai kacamata tunggal dari sisi mikro, individual,
dan atau sebaliknya hanya dari sisi mikro yang memfokuskan aspek struktural.
Kekerasan harus difahami dengan melihat interelasi antara faktir personal,
struktural dan berbagai proses sosial yang menyertai. Kekerasan, teror, dan
kriminalitas dengan demikian bisa saja muncul dari pihak negara, yang oleh para
penganut Weber dinobatkan sebagai pemegang sah otoritas melakukan kesalahan.
Jika dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan, maka akan membawa implikasi
yang luas. Pemerintah yang melanggar hukum, akan membuahkan penghinaan terhadap
hukum yang kemudian mengundang setiap orang menjadikan dirinya sebagai hukum
dan ia akan berbuat anarki.
B. KECENDERUNGAN ELITE
MENGGUNAKAN KEKERASAN
Kekerasan
yang membuat sejarah negeri ini menjadi kelam, masih saja terjadi mengiringi
proses kepolitikan negeri. Meskipun perubahan dramatis proses kepolitikan
negeri ini telah terjadi akhir 1990 an. Kekerasan begitu banyak muncul ke
permukaan, baik ketika negara dalam keadaan kuat seperti zaman rezim orde baru
dan juga setelah memasuki era reformasi, dimana negara dan hampir semua
aparaturnya dalam posisi lemah, antara lain karena mengalami delegistimasi.
Kekerasan
terasa begitu kental dan terkait dengan elite penguasa, sehingga orang dengan
gampang menyimpulkan sebuah kekuasaan elite terutama, ketika negara dalam
keadaan kuat. Ketika negara melemah, terutama
paska berlakunya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian digantikan UU No 32
tahun 2004 yang mengharuskan terjadinya persebaran dan keseimbangan kekuasaan
antar eksekutif, legislatif, dan yudikatif antara pusat dan daerah terlihat
kekerasan oleh negara juga mengalami penurunan identitas.
Pareto
mengatakan elite tidak selalu terkomposisi atas orang-orang yang berprestasi.
Elite dapat di isi oleh mereka yang tidak memiliki prestasi. Begitu sentralnya
peranan elite, lapisan ini seakan sebagai prima
causa dan bukan sebagai prima
interpares. Sehingga, sejarah negeri ini dimulai sejak kemerdekaan, bahkan
jauh sebelum negeri ini hidup dalam system raja-raja tradisional, lebih
merupakan tapak sejarah perjalanan kaum elite, kaum aristokrasi di zaman
raja–raja sebelum kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan, juga tapak-tapak
sejarah kaum aristrokat, model baru di zaman Indonesia Kontemporer.
Memasuki
pasca kemerdekaan dan Indonesia merupakan apa yang disebut dengan modernisasi.
Dalam transformasi modernnisasi, yang muncul begitu melekat kuat adalah sebuah
visi dan keyakinan yang menyatakan bahwa modernisasi, dalam transformasi dan
perubahan social hanya mungkin terjadi jika dimulai oleh lapisan elite,
terutama the governingelite yang
mengendalikan roda kekuasaan. Mereka menanamkan pemahaman berpola curtural dope yang memandang bahwa,
massa adalah lapisan yang tidak tahu apa-apa. Dalam catatan sejarah masa
lalu,elite pemegang kekuasaan negeri ini memiliki visi leguralitas yang begitu
kental.
Kegagapan
dan sikap hipersensitif itulah yang menjadikan elite penguasa (the government elite) lebih cenderung
memakai instrument kekerasan menghadapi perbedaan. Bangsa Indonesia menghadapi perubahan
dramatis pada penghujung 1990-an. Regimme yang berideologi “hemeostatik”pun
runtuh pada pertengahan 1998. Setelah itu bergulir perubahan demi perubahan
yang begitu cepat, yang juga menyangkut karakteristik bangsa ini.
Di
tengah masyarakat yang sedang melakukan proses transisi menuju demokrasi,
militer sebagai aparat pemegang monopoli kekerasan yang sah mengalami
desakralisasi dan delegitimasi, sehingga Negara kehilangan kapasitasnya untuk
mengantisipasi munculnya kekerasan dan tindakan anarkisme. Masayarakat tidak
lagi melihat kekuasaan yang dapat dibayangkan mampu meretas jaringan dan
praktek kekerasan. Tangan-tangan kekuasaan berada dalam posisi inferior ketika
berhadapan dengan sejumlah kekerasan. Begitu rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kapasitas kekuasaan yang meretas kekerasan, misalnya
penetapan darurat sipil untuk
penyelesaian kasus Ambon, malah direspon dengan meletusnya kekerasan
yang menelan korban-korban nyawa manusia.
Pendekatan
keamanan terhadap kasus Aceh pun berlarut–larut dan tidak mampu meredakan
konflik kekerasan di Aceh dalam jangka waktu yang panjang dengan korban masa,
termasuk elite politik dan bahkan tokoh-tokoh kultural dan intelektual, seperti
rector Universitas Syiah Kuala dan juga Rektor IAIN Arraniry. Fenomena
kekerasan pada masa Negara sangat kuat, secara monolitik mengendalikan
kekuasaan, terus muncul ke permukaan yang ditengarai, tidak saja mereflesikan
perilaku massa, tetapi juga refleksi dari perilaku elite. Realitas kekerasan
terjadi pada masa transisi seperti tak urung memerlukan pemahaman yang lebih
terinci. Selintas kekerasan itu merupakan implikasi dari transisi, dalam arti
terjadinya benturan antara sisa-sisa mencoba berjuang untuk melakukan relokasi
politik maupun ekonomi. Namun melihat intensitas dan lingkup kekerasan yang
begitu luas yang terjadi selama ini, mengisyaratkan sebuah implikasi yang lebih
kompleks dari pada sekedar proses penggantian rejim lama kepada rejim baru yang
tengah dilalui dalam sejarah kepolitikan Bangsa Indonesia.
C. KEKERASAN MILITER
Dalam kasus yang terjadi seperti di
Tanjung Priok, Nipah, Marsinah telah membuktikan bahwa kekerasan yang terjadi
dilakukan negara melawan rakyat, bahwa aparatur negara telah memilih solusi
dalam bentuk kekerasan untuk menyelesaikan konflik dengan masyarakat. Kekerasan
yang terungkap ketika negara masih memiliki wibawa atau akumulasi kekuasaan
yang sangat besar.
Negara membangun hegemoni atas
rakyatnya, dengan cara melengkapi diri melalui apa yang disebut Althusse dengan
perangkat represif (repressive state apparatus), yakni militer melengkapi diri dengan perangkat ideologi. Militer dibawa ke kehidupan sosial, ekonomi,
dan politik yang disebut dengan deprivatisasi militer. Deprivatisasai militer,
yakni pengefektifan perangkat represif, maka negara membawa militer mengambil
peran aktif dalam berbagai okupasi sosial, terutama ranah ekonomi maupun
politik dengan cara keluar dari “barak” ke ranah “publik”.
Sejak masa pemerintahan Soekarno,
terutama setelah dekrit Presiden 5 juli 1959, deprivatisasi militer sudah
berlangsung dengan misi untuk mengawal pelaksanaan demokrasi terpimpin dan
dilanjutkan oleh Presiden Soeharto dengan tujuan yang berbeda, yaitu mengawal
demokrasi Pancasila. Secara internal, militer mengembangkan doktrin dwi fungsi
ABRI yang semakin menemukan bentuknya, kemudian militer menjadi faktor
konstitutif dalam proses transformasi sosial, ekonomi, dan politik di
Indonesia.
Keterlibatan militer dalam
konstitutif berlangsung dalam waktu yang cukup lama, tanpa kekuatan
penyeimbang, yang berarti dari kekuatan masyarakat yang lain. Tercatat sejak
tahun 1970-an militer sudah terlibat dalam ranah publik yang akhirnya
menimbulkan negara birokrasi militer dan banyak hak okupasi dalam jabatan
militer maupun bisnis. Dalam hak okupasi dan sangat konstitutif dalam
transformasi sosial, militer tidak sempat memperkuat infrastruktur basis
institusionalnya secara internal. Militer Indonesia akhirnya tidak dapat secara
terus menerus menjalankan fungsinya sebagai perangkat represif dan wibawa
militer pun akhirnya merosot.
Faktor yang mempengaruhi merosotnya
kuasa wibawa militer, datang dari opini dalam kognisi masyarakat yang bersumber
dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang tidak mudah dilawan yang
menjelma menjadi stereotype negatif terhadap militer. Stereotype negatif militer ada karena keterlibatan militer dalam
berbagai penyelesaian konflik etnik dan juga agama dengan kekerasan sejarah
Orde Baru, ditambah lagi ketika militer kehilangan kuasa wibawanya. Hal lain
yang menonjol sebagai pengambil alih segala macam urusan, militer sebagai “kuda
troya”dan militer juga distereotype sebagai pelaku kekerasan yang lalu
diidentikkan sebagai pelanggar HAM.
Militer melakukan perubahan melalui
redefinisi internal. Diawali dengan dikeluarkannya “buku putih” ABRI Abad XXI,
5 Oktober 1998 untuk sharing of power.
Dengan rumusan yang lebih terbuka di negeri memiliki citra dan identitas diri
sesuai dengan semangat demokratisasi. Atas dasar prinsip pluralisme dan
demokratisasi yang direalitakan, maka stereotype yang menyudutkan militer mudah
dihapuskan.
D.
HILANGNYA
KEPEKAAN MORAL ELITE
Situasi
di Indonesia, tidak seperti yang terlihat pada tahun-tahun pertama memasuki
masa transisi menuju demokrasi, di samping diwarnai dengan berbagai suasana chaos, juga diwarnai dengan
kecenderungan yang mengarah kepada apa yang disebut oleh C. Wright Mills dengan the
higher immorality, di mana terjadi
konspirasi immoralitas power elite
tingkat lanjut, yang diyakini sebagai ancaman serius terhadap demokrasi. Mills memakai istilah higher immorality ketika menggambarkan
hilangnya kepekaan moral (moral insensibility), di kalangan
orang-orang super kaya dan super kuasa dari golongan yang ia sebut dengan power elite, yaitu penguasa, politisi,
dan militer Amerika Serikat.
Immoralitas
berarti tindakan asusila atau kemesuman
yang dilihat Mills sudah pada tingkat lanjut tersebut tidak hanya digambarkan
dalam bentuk prostitusi yang dilakukan power
elite Amerika, tetapi lebih luas lagi dalam wujud tindakan tanpa landasan
etik, korupsi, dan kadang-kadang melakukan praktek-praktek ilegal secara
sistematik dan terlembaga seperti penetapan gaji eksekutif dan biaya-biaya
perjalanan, juga termasuk penarikan keuntungan pajak pemerintah dan swasta yang
tidak transparan yang kemudian menodai demokrasi.
Konsep
higher immorality-nya, Mills
menyatakan sebuah harapan, jangan sampai opini bangsa dimanipulasi para elit
pemegang kekuasaan negeri. Mereka menyatakan prodemokrasi, menegakkan
pemerintahan yang baik dan bersih (good
governance and clean government), mengutamakan ideologi pluralisme dan
toleransi, tetapi dalam praktek mereka membangun tradisi KKN model baru, mudah
tersinggung dengan perbedaan pendapat, dan tidak mengenal etika toleransi.
Membangun
sensibilitas moral tidak hanya dengan melakukan reformasi struktur dan sistem
politik, juga berkaitan dengan persoalan pembentukan moral attitude kelas elite
itu sendiri. Niebhur melihat bahwa moral attitude sebuah bangsa dengan aparatus
negara yang siap melayani, adalah sesuatu yang amat penting yang memungkinkan
bangsa itu mampu mengkonsolidasi kekuatan sosial dan menetukan perilaku dan
kebijakan publik.
Konsolidasi
tersebut amat dipengaruhi dengan munculnya perilaku selfishness. Selfishness menggambarkan maraknya praktik pemenuhan
kepentingan sendiri di kalangan aparatus negara. Memakai alur berpikir Niebur
yang menyatakan bahwa moral selfishness
di kalangan power elite semakin sulit
membangun kohesi nasional. Persoalannya adalah bahwa, tidak semua otoritas
negara dapat mentransendensikan semangat kebangsaan. Moral selfishness merupakan hambatan serius membangun kohesi sosial melalui
proses transendensi semangat kebangsaan. Kohesi nasional kemudian dibangun
dengan lebih mengedepankan the repressive
state apparatus, seperti mengedepankan peran militer dan mendorong tumbuh
menjamurnya tindakan para militer atas nama state,
yang dalam praktek sering berperilaku lebih militer daripada militer itu
sendiri.
Pendekatan repressive dalam
membangun kohesi nasional merupakan sesuatu yang tidak baik. Ketika aparatus
kekerasan yang sah yang dimiliki negara tidak fungsional karena mengalami demoralisasi
atau delegitimasi, maka yang muncul kemudian adalah konflik-konflik kekerasan
yang sulit dikendalikan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Realitas kekerasan
sering mengiringi proses transisi dari rejim otoritarian menuju rejim
demokrasi. Secara selintas kekerasan seolah merupakan implikasi dari transisi
itu sendiri. Dalam hal ini sebagai akibat benturan antara sisa-sisa kekuatan
rejim lama yang terdislokasi – yang sedang mencoba berjuang untuk melakukan
“relokasi” politik maupun ekonomi. Namun sesungguhnya kekerasan bukan saekedar
implikasi dari benturan rejim lama yang mencoba bertahan dan rejim baru yang
tengah mencari kekuatan. Kekerasan dalam hal ini dimengerti sebagai pengguna
force serta tidak sah oleh siapapun, termasuk mereka yang memiliki otoritas
menjalankan fungsi tertentu dipemerintahan, lebih merupakan implikasi dari
sebuah proses yang kompleks, dilatari oleh berbagai persoalan dengan intensitas
dan lingkup yang begitu luas. Oleh karena itu kekerasan perlu dilihat sebagai
sebuah implikasi yang lebih kompleks. Bukan sekedar proses pertarungan jabatan
antara rejim lama dengan rejim baru, bahkan juga bukan sekedar implikasi dari
perebutan kursi antar elite baru dalam arena sejarah kepolitikan yang tengah
berlangsung. Kekerasan di negeri yang mengalami transisi, menyangkut persoalan
proses perkembangan kesadaran masyarakat dan internalisasinya secara kultural,
disamping proses institusional secara struktural.
Cara memecahkannya tidak lagi cukup
melalui cara konvensional, melainkan memerlukan resolusi konflik yang kompleks,
dengan menyertakan penataan sistem nilai, moralitas dan pembentukan modal
sosial. Di samping harus pula disertai
distribusi dan alokasi kekuasaan yang menyebar namun disertai dengan upaya
membangun mekanisme konsensus yang terarah. Dengan demikian, sistem politik
pluralistik diperlukan dalam upaya melakukan resolusi konflik dan upaya
mencegah penyalah gunaan praktik kekerasan.Pada akhirnya guna turut serta
mengeliminasi praktik-praktik kekerasan, baik kultural maupun struktural, yang
dilakukan oleh elit pemerintah maupun bukan, termasuk juga dilakukan oleh
massa, maka pendidikan harus turut serta membangun formasi pengetahuan dan
kesadaran masyarakat, agar informasi pengetahuan dan kesadaran mereka terjauh
dari kekerasan, sebaliknya mampu mengedepankan kehidupan berdasarkan prinsip
hidup damai. Pendidikan, formal, non-formal maupun informal, termasuk
pendidikan politik, seharusnya menyertakan kajian tentang kehidupan berdasarkan
prinsip hidup damai, jauh dari praktik kekerasan, menjadi bagian dari mode
pengetahuan yang memperoleh penekanan secara terintegratif dengan muatan
pengetahuan yang diajarkan dalam dunia pendidikan itu. Pendidikan harus juga
dikelola berbasis permasalahan yang ada di masyarakat.Di masyarakat yang tengah
mengalami transisi, jelas mengahadapi
kerawanan terjadinya praktik kekerasan kultural maupun struktural, kekerasan
langsung seperti vendetta maupun tidak langsung. Tidak hanya pendidikan, tetapi
seluruh institusi sosial harus berkontribusi dalam upaya mengeliminasi
kekerasan. Institusi penting dan strategis seperti media massa, harus mengambil
tanggung jawab untuk mengontrol penggunaan kekerasan, terutama yang dilakukan
oleh aparatus pemerintah dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki
otoritas, agar mereka tidak menjalankan otoritasnya itu menggunakan kekerasan
ilegal.
0 comments:
Post a Comment