Sunday, May 22, 2016

MAKNA KEKUASAAN DAN TRANSFORMASI POLITIK



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Kekuasaan sebagai kesempatan yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan ke­mauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan tersebut.Kesempatan merupakan satu konsep yang sangat inti dalam pengertian ini. Kesempatan dapat dihubungkan dengan ekonomi, kehormatan, partai politik atau dengan apa saja yang merupakan sumber kekuasaan bagi seseorang. Kesempatan seorang pejabat untuk melaksanakan kemauannya tentu lebih besar dibanding kesempatan seorang petani. Kekuasaan tidak selamanya berjalan lancar, karena dalam masyarakat pasti ada orang yang tidak setuju atau melakukan perlawanan, baik secara  terbuka atau terselubungterhadap kekuasaan.
Politik sering dihubungkan dengan usaha mendapatkan kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, maupun dalam pelaksanaan kekuasaan. Politik pada hakikatnya adalah bersih dan mulia, tetapi dalam penerapannya seringkali politik menjadi kotor karena dicampuri oleh sifat manusia yang serakah, angkuh, egois, dan sifat jelek manusia yang lain.Apabila telah tercampuri dengan sifat negatif tersebut, kadangkala politik menjadi sulit dibedakan antara politik bersih dan kotor. Politik juga akan semakin memperbesar tabiat jelek manusia. Calon penguasa sering menggunakan kekerasan dalam menumbangkan dan memperebutkan suatu kekuasaan. Selain itu, banyak pula penguasa suatu bangsa menjadi otoriter dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya dalam masyarakat.
Rakyat bukanlah benda, melainkan manusia, dan sebagai manusia rakyat memiliki pesona. Namun sayang, pesona kerap kali dirusak oleh kekuasaan dan kekerasan yang tidak berpihak pada rakyat. Dengan mudahnya rakyat menjadi objek janji elite kekuasaan saat mereka membutuhkan dukungan rakyat. Namun, setelah dukungan diberikan dengan tanpa pamrih, rakyat dimata para elite pemegang kekuasaan tak lebih dari sebatang tebu, yang habis manis sepah dibuang. Janji tinggal janji, tanpa realisasi. Setelah dibuang rakyat masih menjadi objek kekerasan. Dimana dalam setiap terjadi kekerasan rakyatlah yangpertama-tama menjadi korban. Rakyat lantas harus siap menjadi tumbal kekuasaan dan kekerasan dari rezim yang satu ke rezim yang lain, dari zaman ke zaman. Dalam perspektif manapun tidak seorangpun setuju apabila rakyat dijadikan tumbal kekuasaan dan kekerasan, namun itulah yang terjadi dan kerap kali mencoreng wajah Negeri ini.
Berbagai macam jenis kekerasan yang terjadi di sekitar kita belakangan ini sungguh memprihatinkan. Kekerasan demi kekerasan yang terjadi silih berganti cukup menimbulkan kerisauan. Belum lagi selesai ditangani dengan tuntas, telah ada bentuk kekerasan lain yang terjadi. Bahkan sampai ada yang berjarak hanya beberapa jam saja. Kekerasan yang terjadi terus membuat resah, karena beberapa kekerasan tersebut berakar dari permasalahan yang sama.Sebenarnya bentuk kekerasan yang terjadi ada yang berasal dari bentuk kekerasan sebelumnya. Sebagai contoh, kasus tentang terorisme tidak pernah habis untuk dibahas dan selalu berkelanjutan. Selalu saja akan ada teror-teror selanjutnya yang lahir dari dari serangan teroris yang pertama. Contoh lainnya adalah kejahatan primordialisme kesukuan, pada awalnya konflik terjadi hanya antara dua orang saja dari suku yang berbeda, kemudian konflik itu membesar dan melibatkan hampir semua anggota suku.
Kekerasan, bagaimanapun, tidak bisa  berkembang hingga menjadi begitu besar dan panjang dengan sendirinya. Reproduksi kekerasan menjadi berkembangbiak hingga panjang dan tidak berujung didalangi oleh kekuasaan sebagai sumber kekuatan utama. Kekerasan dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan, mereka telah menjadi seperti kembar identik, dimana ada yang satu, pasti ada yang lainnya, kapan saja dan dimana saja.
B.     Perumusan Masalah
Dengan mengacu kepada latar belakang di atas maka, dapat diajukan beberapa perumusan masalah yaitu:
1.      Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan serta kekerasan?
2.      Bagaimana konstruk dan mode pengelolaan kekuasaan?
3.      Bagaimana pengelolaan kekuasaan dengan kekerasan?
C.    Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang dibahas oleh kami dalam makalah ini yaitu batasan masalah mengenai “Kekuasaan dan Kekerasan” yang dibahas dalam buku makna kekuasaan dan transformasi politik penulis Zainuddin Maliki.

D.    Maksud dan Tujuan
Adapunmaksudpenulisandalammakalahiniyaitusebagaisalahsatutugaspemenuhansyaratdarimatakuliah Sosiologi Politik.
Dalam melakukan penulisan makalah ini, hal yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian dan maksud dari kekuasaan dan kekerasan.
2.      Mengetahui konstruk dan mode pengelolaan kekuasaan.
3.      Mengerti bagaimana pengelolaan kekuasaan dengan kekerasan.
   
BAB II
PEMBAHASAN

I.                   KONSTRUK DAN MODE, PENGELOLAAN KEKUASAAN

A. KEKUASAAN : DEFINISI DAN PERSPEKTIF
         Hobbes mengartikan kekuasaan bagi seseorang merupakan alat untuk meraih masa depan yang bagus. Sementara menurut Montesquieu ada tiga typologi pemerintahan, yang masing-masing memiliki cara mengelola kekuasaan yaitu republik. Republik di bagi menjadi 2 yaitu, Republik demokratis & Republik aristokratik, Monarki dan Despotisme. Weber mengartikan kekuasaan merupakan kemungkinan seseorang dalam relasi sosialnya berada dalam posisi bisa menjalankan apa yang diinginkan, meski menghadapi resistensi. Dalam definisi Weber terdapat dua hal yang harus dipahami, pertama kehendak atau apa yang diinginkan seseorang di satu pihak, dan kedua pengaruh atau power yang memungkinkan seseorang bisa menjalankan keinginannya meski mendapatkan perlawanan. Tidak seperti Marx, dia melihat bahwa kekuasaan bukan bersumber semata-mata dari kekuatan ekonomi, atau hubungan pemilikan secara private atas alat produksi. Menurut dia, kekuasaan memiliki beberapa dimensi, meliputi kelas, status dan pengorganisasian kedalam partai.
Kelas mengacu kepada tatanan ekonomi masyarakat. Mengenai dimensi status mengacu kepada cara organisasi masyarakat memunculkan perbedaan lantaran prestise atau kehormatan bagi kelompok individu yang berbeda-beda. Adapun yang dimaksud dengan “partai” adalah cara kelompok mengorganisasir diri dalam mencapai tujuan hidup. Partai-partai saling berupaya meraih posisi, kehormatan dan kontrol atas tatanan sosial.Kontrol atas masyarakat, dilakukan partai bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan, melainkan juga untuk mencari keabsahan di mata kelompok yang dikuasai.Dalam kajian islam, hubungan agama dan kekuasaan atau politik organik, memunculkan klaim tidak ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga kekuasaan bukan sekedar representasi, tetapi  presentasi dari agama. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan penganut perspektif skrituralis cenderung berangkat dan asumsi descending of power, dalam hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dengan demikian penguasa tidak lain adalah representasi dari kekuasaan-Nya yang kemudian muncul pemerintah teokratis.
 Casanova mengemukakan bahwa, pemisahan agama dan kekuasaan atau politik yang berakar dari faham sekularisme mengimplikasikan tiga kemungkinan. Pertama, sekularisasi bermakna diferensiasi dan spesialisasi yang memisahkan ranah agama dari negara, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan. Kedua, sekularisasi bermakna sebagai representasi merosotnya keyakinan agama, sehingga agama sama sekali kehilangan otoritasnya. Ketiga, bermakna privatisasi yang mempostulkan bahwa agama diletakkan dalam ranah privat, individu memiliki otonomi dan sistem pemaknaan secara subyektif namun kemudian tidak memiliki keabsahan untuk mengambil ruang publik. Dengan kata lain, agama berada dalam posisi marginal dalam kekuasaan atau proses modernisasi.

B. MODE PENGELOLAAN KEKUASAAN
         Kekuasaan merupakan otoritas elite yang diberikan secara legal formal untuk menciptakan kebaikan bersama. Adapula yang memandang kekuasaan sebagai representasi dari kepentingan elite yang tidak otomatis dipergunakan untuk kebaikan bersama atau untuk memberdayakan mereka yang lemah dan miskin.
1.      Konstruks elite tentang kekuasaan
Kekuasaan yang dilakukan melalui praktek dominasi dimunculkan ketika seorang atau sekelompok elite memaksa kelompok lain (massa) melalui penggunaan secara langsung ancaman dan kekuatan atau kekerasan. Menurut Gramsci ada dua konsep kekuasaan : Pertama, Rule (Dominio) kekuasaan politik yang terekspresikan melalui cara-cara koersi, Kedua, Hegemony Kekuasaan yang diekspresikan melalui jalinan politik, social dan budaya dengan cara persuative (membujuk) dan mekanisme consensus (semua). 
2.      Kontruks Jawa Tentang Kekuasaan
Masyarakat jawa adalah komunitas etnis yang memiliki sejarah panjang dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Bila pada pandangan orang Jawa kekuasaan dan status berhubungan erat di mana politikus dianggap sebagai orang tinggi kewibawaannya, maka pada pandangan Islam status itu tidak berarti karena semua kekuasaan sesungguhnya terletak di tangan Tuhan.Anderson mengimplikasikan kekuasaan dilihat dari perspektif barat menjadi tidak terpersonifikasi, melainkan merupakan sebuah ranah yang bercorak abstrak, yang bisa diperoleh oleh siapa yang mampu memenuhi syarat yang diminta.Konsep kekuasaan menurut orang jawa bahwa kekuasaan dilihat sebagai:Kongkrit (ada, tidak tergantung pada orang yang menggunakan), Homogen (mempunyai jenis dan sumber yang sama), Besarnya dalam alam semesta (konstan), dan Tidak menimbulkan pengesahan. Pemanfaatan agama dalam pembentukan simbol-simbol kekuasaan itu menurut Andersom berlangsung terutama sesudah abad ke-15. Dalam masyarakat jawa, gelar dan kelengkapan kebangsawanan harus pula dilengkapi dengan penguasaan spiritual. Oleh karena itu, sebelum memberontak terhadap belanda, pangeran dipenogoro memilih berziarah ke tempat-tempat suci, makam-makam orang suci dan penguasa terdahulu.
3. Konstruk Pemikir Islam tentang Kekuasaan
Diskursus agama dan politik, khususnya menyangkut pengelolaan kekuasaan (region-political power) sebenarnya telah berkembang sejak abad tengah. Smith membagi pemikiran agama dan politik secara dikotomis ke dalam tipologi regilio-political power organik di satu pihak dan sekuler di lain pihak.Menurut Swidler, misalnya hanya representasi dari pemikiran Kristen. Dalam Islam banyak kazanah intelektual, bukan saja perspektif sekularistik dan organik, melainkan juga muncul persfektif lain yang lebih bercorak diferensiatif. Agama yang penuh simbol dan code ritual yang bermuatan transedental diambil sebagai atribut baru tidak bagi elite-elite politik. Berakar dari asumsi atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab alamiyah, Raziq membangun klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif sekularistik.

C. MENGELOLA KEKUASAAN DENGAN ENERGI AGAMA
Di negara sekuler yang menganut ideologi liberal menempatkan agama sebagai alat justifikasi tindakan politiknya. Sedangkan di negara sekuler yang menjadikan pikiran kritis sebagai ideologi melihat agama sebagai alat hegemoni kelas borjuis. Sementara di negara organik lebih cenderung dijadikan sebagai faktor nilai, tidak saja ditempatkan secara instrumental (zweckrationalitat) melainkan sebagai nilai bertujuan (wetrationalitat).
1.      Agama : Energi atau Political Laibility
Agama dengan lambang, symbol dan energinya dijadikan sebagai alat mempertahankan kekuasaan dengan segala privelese yang bisa dinikmatinya. Agama tidak diberi makna sebagai payung suci melainkan terkait erat dengan urusan dan kehendak manusia berkuasa. Dengan demikian Marx lebih berpandangan pesimistik dalam melihat agama ketika agama berada di tangan elite, karena di sana agama ditempatkan sebagai bagian dari bangunan atas (superstructure) yang dipakai oleh kelas penguasa atau kaum borjuis untuk mempertahankan privelese di satu pihak dan mengekalkan dominasi atau hegemoni mereka terhadap yang lemah. Dengan demikian agama tidak akan menjadi kekuatan pengubah atas keadaan yang telah mapan. Sebaliknya agama akan dapat digunakan untuk mengokohkan kemapanan itu sendiri.   
2. Fundamentalisme Agama
Dalam memahami gerakan fundamentalisme keagamaan terdapat perbedaan pendekatan, antara mereka yang menggunakan perspektif obyektifis dan perspektif subyektivis. Bagi penganut perspektif obyektivistik yang mengandaikan bahwa individu selalu bertekuk lutut terhadap dunia diluar dirinya, memandang fundamentalisme agama lahir karena proses internalisasi terhadap ajaran agama yang memuat doktrin atau dogma-dogma normatif yang berwatak radikal. Pendekatan obyektif dalam hal ini memandang bahwa revolusi sosial sangat dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan psikologis yang berkaitan erat dengan sistem nilai keyakinan seseorang. Dengan kata lain, radikalisme atau fundamentalisme adalah produk dari sistem keyakinan seseorang yang diperoleh dari sumber ajaran agama yang radikal.
Fundamentalisme agama mengembangkan “ideologi” perlawanan, terutama diarahkan kepada mereka yang membangun sistem sosial yang dibangun atas dasar “ideologi” sekuler. Dalam perspektif Durkheimian, agama merupakan sumber nilai dan pembentuk kesadaran kolektif. Agama dengan berbagai perangkat nilai di dalamnya menentukan bentuk bangunan sosial. Smith menyatakan bahwa agama justru dalam pengertian tradisionalnya menyediakan kritik yang berharga bagi ideologi sekuler semacam ideologi yang ditawarkan oleh Marxisme itu.Ackermann mencatat bahwa agama-agama besar selalu terlibat dalam gerakan kritik. Agama kristen misalnya, sejak menunjukkan keterlibatannya dalam melakukan kritik atas munculnya kesadaran kolektif yang membuat kebekuan berpikir masyarakat Eropa, seperti yang terjadi dengan kebangkitan agama Protestan radikal pada masa reformasi. Bagi Ackermann, agama yang tidak dapat melancarkan kritik sosial berarti sudah mati.
Dengan demikian pemahaman atas munculnya fenomena fundamentalisme agama tidak bisa mengesampingkan analisis struktural, terutama dimensi ekonomi politik yang menguasai kehidupan masyarakat. Fundamentalisme agama mencoba melawan tekanan-tekanan represif yang mengancam sumber-sumber eksistensial ekonomi, politik maupun keagamaan mereka.


II.                PENGELOLAAN KEKUASAAN DENGAN KEKERASAN
A.  MEMAHAMI GEJALA KEKERASAN
Salah satu maksud politik dibangun adalah untuk melembagakan penyelesaian konflik agar konflik itu tidak melebar menjadi anarkisme dan kekerasan. Penyelesaian konflik dan penghapusan praktik kekerasan dalam mengelola kekuasaan, dapat dilakukan dengan memantapkan instrumen politik. Memahami tindakan kekerasan, haruslah dikaitkan dengan cara individu memahami setting kehidupan yang melatarbelakangi.
Steger dan Lind menunjukkan sejumlah syarat-syarat struktural yang bisa memicu munculnya kekerasan :
1.                  Kekerasan menandai terjadinya degradasi kualitas lingkungan.
2.                  Kekerasan menandai terjadinya ketimpangan distribusi sumber-sumber material
3.                  Kekerasan menandai munculnya ketidakpastian akan masa depan
Dengan demikian, mengeliminasi atau mereduksi kekerasan, perlu dan bahkan harus dilakukan dengan cara mematahkan jaringan pelaku kekerasan secara langsung. Mengeliminasi kekerasan, setidak-tidaknya mensyaratkan kita untuk menata ketiga faktor struktural sebagaimana diungkapkan Steger dan Lind, yakni dengan berupaya memperbaiki kualitas lingkungan hidup, menata distribusi sumber-sumber material yang adil serta memberikan kepastian akan masa depan. Fenomena kekerasan power elite tersebut tidak bisa difahami hanya sebagai gejala kekerasan konvensional, atau sebagai representasi dari perilaku marginal. Lebih dari itu, kekerasan tidak bisa dibaca sebagai problema psikologi individual atau impuls biologis, bahkan juga tidak bisa difahami sekedar dari faktor sosio-struktural.  Galtung berpendapat bahwa kekerasan bukan saja gejala fisikal tetapi juga psikologis. Kekerasan juga bisa dibedakan antara kekerasan langsung yang bersifat individual, seperti membunuh dan atau vendetta dengan kekerasan struktural, seperti eksploitasi. Menghapus kekerasan individual memang bisa menciptakan kedamaian tetapi bersifat negatif dan belum tentu berdampak positif. Sementara itu, menghapus kekerasan struktural berarti mewujudkan kedamaian positif.

Kekerasan struktural muncul sebagai implikasi dari praktek ketidakadilan, sehingga dengan dicapainya kedamaian positif, bermakna timbulnya rasa keadilan sosial.  Kekerasan diberi makna sebagai “bajingan” yang menyimpang dari norma dan melawan hukum kolektif. Perspektif ini merekomendasi penyelesaian kekerasan dengan cara menangkap pelakunya, menghukum, dan menyeretnya kedalam penjara. Dalam praktek nyatanya, penjara banyak yang gagal melakukan fungsinya. Oleh karena itu memahami kekerasan di Indonesia, tidak cukup memakai kacamata tunggal dari sisi mikro, individual, dan atau sebaliknya hanya dari sisi mikro yang memfokuskan aspek struktural. Kekerasan harus difahami dengan melihat interelasi antara faktir personal, struktural dan berbagai proses sosial yang menyertai. Kekerasan, teror, dan kriminalitas dengan demikian bisa saja muncul dari pihak negara, yang oleh para penganut Weber dinobatkan sebagai pemegang sah otoritas melakukan kesalahan. Jika dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan, maka akan membawa implikasi yang luas. Pemerintah yang melanggar hukum, akan membuahkan penghinaan terhadap hukum yang kemudian mengundang setiap orang menjadikan dirinya sebagai hukum dan ia akan berbuat anarki.

B.  KECENDERUNGAN ELITE MENGGUNAKAN KEKERASAN
Kekerasan yang membuat sejarah negeri ini menjadi kelam, masih saja terjadi mengiringi proses kepolitikan negeri. Meskipun perubahan dramatis proses kepolitikan negeri ini telah terjadi akhir 1990 an. Kekerasan begitu banyak muncul ke permukaan, baik ketika negara dalam keadaan kuat seperti zaman rezim orde baru dan juga setelah memasuki era reformasi, dimana negara dan hampir semua aparaturnya dalam posisi lemah, antara lain karena mengalami delegistimasi.
Kekerasan terasa begitu kental dan terkait dengan elite penguasa, sehingga orang dengan gampang menyimpulkan sebuah kekuasaan elite terutama, ketika negara dalam keadaan kuat. Ketika negara melemah, terutama  paska berlakunya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian digantikan UU No 32 tahun 2004 yang mengharuskan terjadinya persebaran dan keseimbangan kekuasaan antar eksekutif, legislatif, dan yudikatif antara pusat dan daerah terlihat kekerasan oleh negara juga mengalami penurunan identitas.
Pareto mengatakan elite tidak selalu terkomposisi atas orang-orang yang berprestasi. Elite dapat di isi oleh mereka yang tidak memiliki prestasi. Begitu sentralnya peranan elite, lapisan ini seakan sebagai prima causa dan bukan sebagai prima interpares. Sehingga, sejarah negeri ini dimulai sejak kemerdekaan, bahkan jauh sebelum negeri ini hidup dalam system raja-raja tradisional, lebih merupakan tapak sejarah perjalanan kaum elite, kaum aristokrasi di zaman raja–raja sebelum kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan, juga tapak-tapak sejarah kaum aristrokat, model baru di zaman Indonesia Kontemporer.
Memasuki pasca kemerdekaan dan Indonesia merupakan apa yang disebut dengan modernisasi. Dalam transformasi modernnisasi, yang muncul begitu melekat kuat adalah sebuah visi dan keyakinan yang menyatakan bahwa modernisasi, dalam transformasi dan perubahan social hanya mungkin terjadi jika dimulai oleh lapisan elite, terutama the governingelite yang mengendalikan roda kekuasaan. Mereka menanamkan pemahaman berpola curtural dope yang memandang bahwa, massa adalah lapisan yang tidak tahu apa-apa. Dalam catatan sejarah masa lalu,elite pemegang kekuasaan negeri ini memiliki visi leguralitas yang begitu kental.
Kegagapan dan sikap hipersensitif itulah yang menjadikan elite penguasa (the government elite) lebih cenderung memakai instrument kekerasan menghadapi perbedaan.  Bangsa Indonesia menghadapi perubahan dramatis pada penghujung 1990-an. Regimme yang berideologi “hemeostatik”pun runtuh pada pertengahan 1998. Setelah itu bergulir perubahan demi perubahan yang begitu cepat, yang juga menyangkut karakteristik bangsa ini.
Di tengah masyarakat yang sedang melakukan proses transisi menuju demokrasi, militer sebagai aparat pemegang monopoli kekerasan yang sah mengalami desakralisasi dan delegitimasi, sehingga Negara kehilangan kapasitasnya untuk mengantisipasi munculnya kekerasan dan tindakan anarkisme. Masayarakat tidak lagi melihat kekuasaan yang dapat dibayangkan mampu meretas jaringan dan praktek kekerasan. Tangan-tangan kekuasaan berada dalam posisi inferior ketika berhadapan dengan sejumlah kekerasan. Begitu rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas kekuasaan yang meretas kekerasan, misalnya penetapan darurat sipil untuk  penyelesaian kasus Ambon, malah direspon dengan meletusnya kekerasan yang menelan korban-korban nyawa manusia.
Pendekatan keamanan terhadap kasus Aceh pun berlarut–larut dan tidak mampu meredakan konflik kekerasan di Aceh dalam jangka waktu yang panjang dengan korban masa, termasuk elite politik dan bahkan tokoh-tokoh kultural dan intelektual, seperti rector Universitas Syiah Kuala dan juga Rektor IAIN Arraniry. Fenomena kekerasan pada masa Negara sangat kuat, secara monolitik mengendalikan kekuasaan, terus muncul ke permukaan yang ditengarai, tidak saja mereflesikan perilaku massa, tetapi juga refleksi dari perilaku elite. Realitas kekerasan terjadi pada masa transisi seperti tak urung memerlukan pemahaman yang lebih terinci. Selintas kekerasan itu merupakan implikasi dari transisi, dalam arti terjadinya benturan antara sisa-sisa mencoba berjuang untuk melakukan relokasi politik maupun ekonomi. Namun melihat intensitas dan lingkup kekerasan yang begitu luas yang terjadi selama ini, mengisyaratkan sebuah implikasi yang lebih kompleks dari pada sekedar proses penggantian rejim lama kepada rejim baru yang tengah dilalui dalam sejarah kepolitikan Bangsa Indonesia.

C.  KEKERASAN MILITER
Dalam kasus yang terjadi seperti di Tanjung Priok, Nipah, Marsinah telah membuktikan bahwa kekerasan yang terjadi dilakukan negara melawan rakyat, bahwa aparatur negara telah memilih solusi dalam bentuk kekerasan untuk menyelesaikan konflik dengan masyarakat. Kekerasan yang terungkap ketika negara masih memiliki wibawa atau akumulasi kekuasaan yang sangat besar.
Negara membangun hegemoni atas rakyatnya, dengan cara melengkapi diri melalui apa yang disebut Althusse dengan perangkat represif (repressive state apparatus), yakni militer melengkapi diri dengan perangkat ideologi.  Militer dibawa ke kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang disebut dengan deprivatisasi militer. Deprivatisasai militer, yakni pengefektifan perangkat represif, maka negara membawa militer mengambil peran aktif dalam berbagai okupasi sosial, terutama ranah ekonomi maupun politik dengan cara keluar dari “barak” ke ranah “publik”.
Sejak masa pemerintahan Soekarno, terutama setelah dekrit Presiden 5 juli 1959, deprivatisasi militer sudah berlangsung dengan misi untuk mengawal pelaksanaan demokrasi terpimpin dan dilanjutkan oleh Presiden Soeharto dengan tujuan yang berbeda, yaitu mengawal demokrasi Pancasila. Secara internal, militer mengembangkan doktrin dwi fungsi ABRI yang semakin menemukan bentuknya, kemudian militer menjadi faktor konstitutif dalam proses transformasi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Keterlibatan militer dalam konstitutif berlangsung dalam waktu yang cukup lama, tanpa kekuatan penyeimbang, yang berarti dari kekuatan masyarakat yang lain. Tercatat sejak tahun 1970-an militer sudah terlibat dalam ranah publik yang akhirnya menimbulkan negara birokrasi militer dan banyak hak okupasi dalam jabatan militer maupun bisnis. Dalam hak okupasi dan sangat konstitutif dalam transformasi sosial, militer tidak sempat memperkuat infrastruktur basis institusionalnya secara internal. Militer Indonesia akhirnya tidak dapat secara terus menerus menjalankan fungsinya sebagai perangkat represif dan wibawa militer pun akhirnya merosot.
Faktor yang mempengaruhi merosotnya kuasa wibawa militer, datang dari opini dalam kognisi masyarakat yang bersumber dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang tidak mudah dilawan yang menjelma menjadi stereotype negatif terhadap militer. Stereotype negatif  militer ada karena keterlibatan militer dalam berbagai penyelesaian konflik etnik dan juga agama dengan kekerasan sejarah Orde Baru, ditambah lagi ketika militer kehilangan kuasa wibawanya. Hal lain yang menonjol sebagai pengambil alih segala macam urusan, militer sebagai “kuda troya”dan militer juga distereotype sebagai pelaku kekerasan yang lalu diidentikkan sebagai pelanggar HAM.
Militer melakukan perubahan melalui redefinisi internal. Diawali dengan dikeluarkannya “buku putih” ABRI Abad XXI, 5 Oktober 1998 untuk sharing of power. Dengan rumusan yang lebih terbuka di negeri memiliki citra dan identitas diri sesuai dengan semangat demokratisasi. Atas dasar prinsip pluralisme dan demokratisasi yang direalitakan, maka stereotype yang menyudutkan militer mudah dihapuskan.

D.  HILANGNYA KEPEKAAN MORAL ELITE
Situasi di Indonesia, tidak seperti yang terlihat pada tahun-tahun pertama memasuki masa transisi menuju demokrasi, di samping diwarnai dengan berbagai suasana chaos, juga diwarnai dengan kecenderungan yang mengarah kepada apa yang disebut oleh C. Wright Mills  dengan the higher immorality, di mana terjadi  konspirasi immoralitas power elite tingkat lanjut, yang diyakini sebagai ancaman serius terhadap demokrasi. Mills memakai istilah higher immorality ketika menggambarkan hilangnya kepekaan  moral (moral insensibility), di kalangan orang-orang super kaya dan super kuasa dari golongan yang ia sebut dengan power elite, yaitu penguasa, politisi, dan militer Amerika Serikat.
Immoralitas berarti tindakan asusila atau  kemesuman yang dilihat Mills sudah pada tingkat lanjut tersebut tidak hanya digambarkan dalam bentuk prostitusi yang dilakukan power elite Amerika, tetapi lebih luas lagi dalam wujud tindakan tanpa landasan etik, korupsi, dan kadang-kadang melakukan praktek-praktek ilegal secara sistematik dan terlembaga seperti penetapan gaji eksekutif dan biaya-biaya perjalanan, juga termasuk penarikan keuntungan pajak pemerintah dan swasta yang tidak transparan yang kemudian menodai demokrasi.
Konsep higher immorality-nya, Mills menyatakan sebuah harapan, jangan sampai opini bangsa dimanipulasi para elit pemegang kekuasaan negeri. Mereka menyatakan prodemokrasi, menegakkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government), mengutamakan ideologi pluralisme dan toleransi, tetapi dalam praktek mereka membangun tradisi KKN model baru, mudah tersinggung dengan perbedaan pendapat, dan tidak mengenal etika toleransi.
Membangun sensibilitas moral tidak hanya dengan melakukan reformasi struktur dan sistem politik, juga berkaitan dengan persoalan pembentukan moral attitude kelas elite itu sendiri. Niebhur melihat bahwa moral attitude sebuah bangsa dengan aparatus negara yang siap melayani, adalah sesuatu yang amat penting yang memungkinkan bangsa itu mampu mengkonsolidasi kekuatan sosial dan menetukan perilaku dan kebijakan publik.
Konsolidasi tersebut amat dipengaruhi dengan munculnya perilaku selfishness. Selfishness menggambarkan maraknya praktik pemenuhan kepentingan sendiri di kalangan aparatus negara. Memakai alur berpikir Niebur yang menyatakan bahwa moral selfishness di kalangan power elite semakin sulit membangun kohesi nasional. Persoalannya adalah bahwa, tidak semua otoritas negara dapat mentransendensikan semangat kebangsaan. Moral selfishness merupakan hambatan serius membangun kohesi sosial melalui proses transendensi semangat kebangsaan. Kohesi nasional kemudian dibangun dengan lebih mengedepankan the repressive state apparatus, seperti mengedepankan peran militer dan mendorong tumbuh menjamurnya tindakan para militer atas nama state, yang dalam praktek sering berperilaku lebih militer daripada militer itu sendiri.
Pendekatan repressive dalam membangun kohesi nasional merupakan sesuatu yang tidak baik. Ketika aparatus kekerasan yang sah yang dimiliki negara tidak fungsional karena mengalami demoralisasi atau delegitimasi, maka yang muncul kemudian adalah konflik-konflik kekerasan yang sulit dikendalikan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Realitas kekerasan sering mengiringi proses transisi dari rejim otoritarian menuju rejim demokrasi. Secara selintas kekerasan seolah merupakan implikasi dari transisi itu sendiri. Dalam hal ini sebagai akibat benturan antara sisa-sisa kekuatan rejim lama yang terdislokasi – yang sedang mencoba berjuang untuk melakukan “relokasi” politik maupun ekonomi. Namun sesungguhnya kekerasan bukan saekedar implikasi dari benturan rejim lama yang mencoba bertahan dan rejim baru yang tengah mencari kekuatan. Kekerasan dalam hal ini dimengerti sebagai pengguna force serta tidak sah oleh siapapun, termasuk mereka yang memiliki otoritas menjalankan fungsi tertentu dipemerintahan, lebih merupakan implikasi dari sebuah proses yang kompleks, dilatari oleh berbagai persoalan dengan intensitas dan lingkup yang begitu luas. Oleh karena itu kekerasan perlu dilihat sebagai sebuah implikasi yang lebih kompleks. Bukan sekedar proses pertarungan jabatan antara rejim lama dengan rejim baru, bahkan juga bukan sekedar implikasi dari perebutan kursi antar elite baru dalam arena sejarah kepolitikan yang tengah berlangsung. Kekerasan di negeri yang mengalami transisi, menyangkut persoalan proses perkembangan kesadaran masyarakat dan internalisasinya secara kultural, disamping proses institusional secara struktural.
Cara memecahkannya tidak lagi cukup melalui cara konvensional, melainkan memerlukan resolusi konflik yang kompleks, dengan menyertakan penataan sistem nilai, moralitas dan pembentukan modal sosial. Di samping harus pula  disertai distribusi dan alokasi kekuasaan yang menyebar namun disertai dengan upaya membangun mekanisme konsensus yang terarah. Dengan demikian, sistem politik pluralistik diperlukan dalam upaya melakukan resolusi konflik dan upaya mencegah penyalah gunaan praktik kekerasan.Pada akhirnya guna turut serta mengeliminasi praktik-praktik kekerasan, baik kultural maupun struktural, yang dilakukan oleh elit pemerintah maupun bukan, termasuk juga dilakukan oleh massa, maka pendidikan harus turut serta membangun formasi pengetahuan dan kesadaran masyarakat, agar informasi pengetahuan dan kesadaran mereka terjauh dari kekerasan, sebaliknya mampu mengedepankan kehidupan berdasarkan prinsip hidup damai. Pendidikan, formal, non-formal maupun informal, termasuk pendidikan politik, seharusnya menyertakan kajian tentang kehidupan berdasarkan prinsip hidup damai, jauh dari praktik kekerasan, menjadi bagian dari mode pengetahuan yang memperoleh penekanan secara terintegratif dengan muatan pengetahuan yang diajarkan dalam dunia pendidikan itu. Pendidikan harus juga dikelola berbasis permasalahan yang ada di masyarakat.Di masyarakat yang tengah mengalami transisi,  jelas mengahadapi kerawanan terjadinya praktik kekerasan kultural maupun struktural, kekerasan langsung seperti vendetta maupun tidak langsung. Tidak hanya pendidikan, tetapi seluruh institusi sosial harus berkontribusi dalam upaya mengeliminasi kekerasan. Institusi penting dan strategis seperti media massa, harus mengambil tanggung jawab untuk mengontrol penggunaan kekerasan, terutama yang dilakukan oleh aparatus pemerintah dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki otoritas, agar mereka tidak menjalankan otoritasnya itu menggunakan kekerasan ilegal.

0 comments:

Post a Comment