HUKUM WARIS
Kaidah Hitung Pewarisan
dalam Islam
·
Al-Furudh Al-Muqaddarah
Hisab
adalah cara untuk dapat menetapkan bilangan yang tidak pecah yang paling kecil
yang keluar saham-saham yang telah ditetapkan dan men-ta’shib-kan masalah.Dalam
penghitungan hak waris setiap ahli waris, maka kita juga harus mengetahui
bagian-bagian yang telah ditentukan bagi setiap ahli waris atau disebut juga
Furudhul Muqaddarah, bagian-bagian tersebut telah ditentukan secara syar’i bagi
ahli waris tertentu. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd[1]
dan tidak kurang, kecuali dengan jalan ’aul[2].
Di
dalam al-Qur’an, kata furudh muqaddarah (yaitu pembagian ahli waris secara
fardh yang telah ditentukan jumlahnya) merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu
separuh (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan
(1/8), dua pertiga (2/3).
Dalil
setengah (1/2) adalah firman Allah swt., ”Jika anak adam itu seorang saja, maka
ia memperoleh separuh harta.” (an-Nisaa’ :11); ”bagimu (suami-suami) satu
perdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu.” (an-Nisaa’: 12); dan
ayat, ”jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya.” (an-Nisaa’: 176).
Dalil
sepertiga (1/3), adalah firman Allah swt., ”jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh bapak ibunya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga.” (an-Nisaa’: 11) dan ayat, ”Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”
(an-Nisaa’: 12).
Dalil
seperempat (1/4), adalah firman Allah swt.,”jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.”
(an-Nisaa’: 12) dan ayat,”para istri memperoleh seperempat harta dari yang kamu
tinggalkan...” (an-Nisaa’: 12).
Dalil
seperenam (1/6), adalah firman Allah swt.,”untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak.” (an-Nisaa’: 11); ”jika yang mennggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.” (an-Nisaa’: 11); dan
ayat,”jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seoarang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.”
(an-Nisaa’: 12).
Dalil
seperdelapan (1/8), adalah firman Allah swt.,”jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (an-Nisaa’:
12).
Dalil
dua pertiga (2/3), adalah firman Allah swt.,”jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.”
(an-Nisaa’: 11); dan ayat,”tapi, jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduannya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.”
(an-Nisaa’: 176).
Dalam
mengurutkan atau menghitung furudh muqaddarah, para ulama mempunyai dua metode,
yaitu tadalliy’ ’menurun’ dan taraqqiy ’menaik’. Adapun yang dimaksud dengan
tadalliy’ adalah menyebutkan fardh paling atas terlebih dahulu, lalu turun ke
fardh yang lebih rendah. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah di
dalam al-Quran, yaitu dua pertiga, seperdua,
seperdua dari dua pertiga dan separuh, kemudian dari setengahnya dua
pertiga dan separuh, dan seterusnya, atau kita menyebutnya dua pertiga,
setengah dari dua per tiga, dan seperempat dari dua per tiga, kemudian
seperdua, setengahnya seperdua, dan seperempatnya.
Sedangkan
yang dimaksud dengan metode taraqqiy adalah menyebutkan fardh yang lebih rendah
terlebih dahulu, lalu terus ke atas. Misalnya, kita menyebutkan furudhul
muqaddarah, yaitu seperdelapan, seperenam, dua kali lipat seperdelapan dan
seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperdelapan, dan seperenam,
atau kita bisa katakan seperdelapan, dua kali lipat seperdelapan, seperenam,
dua kali lipat seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperenam.
Dari
kedua metode di atas (tadalliy’ dan taraqqy) terdapat metode ketiga yang lebih
ringkas dari kedua metode di atas, yaitu metode tawassuth ’menengah’, yaitu
dengan menyebutkan bagian fardh yang tengah lebih dahulu, lalu menaik dan
menurun. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah, yaitu seperempat,
sepertiga, dua kali lipat dari seperempat dan sepertiga serta seperdua dari
seperempat dan sepertiga atau kita bisa katakan seperempat, dua kali lipat dari
seperempat dan setengah dari seperempat, serta sepertiga, dua kali lipat dari
sepertiga dan setengah dari sepertiga.
·
Asal Masalah
Asal
masalah merupakan suatu cara untuk menemukan porsi bagian masing-masing ahli
waris dengan cara menyamakan nilai ”penyebut[3]”
dari semua bagian para ahli waris. Acuan yang dapat digunakan untuk menentukan
asal masalah tidak jauh dari angka-angka berikut ”2, 3, 4, 6, 8, 12, 24”
seperti sebagai berikut:
Jika
nilai penyebut bagian para ahli waris adalah sama, maka nilai penyebut bagian
para ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2
dengan 1/2, maka asal masalahnya adalah 2.
Jika
nilai penyebut bagian salah satu ahli waris dapat dibagi oleh nilai penyebut
bagian para ahli waris lainnya, maka nilai penyebut bagian ahli waris pertama
tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2 dengan 1/6, maka
asal masalahnya adalah 6.
Jika
nilai penyebut bagian para ahli waris tidak sama dan nilai bagian salah satu
ahli waris tidak dapat dibagi oleh nilai penyebut bagian para ahli waris
lainnya, maka nilai kelipatan persekutuan terkecil dari nilai penyebut para
ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/4 dengan
2/3, maka asal masalahnya adalah 12.
·
’Aul
Jumlah
bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu atau jumlah saham lebih
besar dari asal masalah. Dalam kondisi seperti itu, bagian waris setiap ahli
waris tidak mungkin didasarkan kepada nilai harta peninggalan secara mutlak
karna itu tidak akan mencukupi. Oleh sebab itu, maka bagian waris para ahli
waris harus dimodifikasi dengan cara membagi waris masing-masing oleh jumlah
warisan (bukan oleh asal masalah). Penetapan bagian waris dengan cara
menetapkan nilai jumlah waris, yang lebih besar dari nilai asal masalah,
sebagai asal masalah dinamakan ’Aul.
Masalah:
seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri
dari janda, ibu, bapak, dan dua anak perempuan.
Ahli waris
|
Bagian
|
Asal masalah
|
Saham
|
Bapak
|
1/6
|
24
|
4
|
Ibu
|
1/6
|
24
|
4
> 27
|
2anak perempuan
|
2/3
|
24
|
16
|
Janda Perempuan
|
1/8
|
24
|
3
|
·
Radd
Jumlah
bagian para ahli waris boleh jadi lebih kecil dari satu atau nilai jumlah saham
lebih besar dari nilai asal masalah. Dengan kata lain adalah terdapat ’ashobah
(sisa).
Masalah:
seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari
istri, ibu, bapak, dan satu anak perempuan.
Ahli waris
|
Bagian
|
Asal masalah
|
Saham
|
Bapak
|
1/6
|
24
|
8
|
Ibu
|
1/6
|
24
|
8
|
Anak perempuan
|
1/2
|
24
|
12
|
Istri
|
1/8
|
24
|
3
|
Jumlah<
|
23
|
Cara Mewariskan dan
Pengelompokan Ahli waris
·
Cara Mewariskan
Untuk membagikan atau
memberikan warisan kepada ahli waris si mayit, ada dua cara yang dapat
dilakukan, yaitu fardh[4]dan
ta’shib atau ‘ashabah[5].
Mewariskan secara fardh, yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris sesuai
dengan bagian yang telah ditentukan, seperti setengah, seperempat,
seperdelapan, dua per tiga, sepertiga, dan seperenam. Adapun yang dimaksud
dengan mewariskan secara ta’shib, yaitu memberikan harta waris kepada ahli
waris, yang besar bagiannya tidak ditentukan, atau biasa disebut dengan bagian
lunak. Dalam satu kasus, ahli waris ‘ashabah bisa mewarisi seluruh harta si
mayit, jika ia sendirian. Dalam kasus lain, ia bisa mewarisi sisa, setelah
bagian ashabul furudh diberikan.
·
Pengelompokan Ahli
Waris.
1.
Kelompok Pertama
(Al-fardh saja).
Ahli
waris yang hanya mewarisi secara fardh (yang menerima bagian tetap), berjumlah
tujuh orang, yaitu ibu, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek
dari ibu, nenek dari ayah, suami, dan istri.
Sementara
itu, bagian tetap (fardh) dari setiap ahli waris di atas adalah sebagai berikut:
a)
Ibu: seperenam (1/6)
atau sepertiga (1/3) utuh, atau sepertiga (1/3) sisa.
b)
Nenek dari pihak ayah:
seperenam (1/6), baik sendiri maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
c)
Nenek dari pihak ibu:
seperenam (1/6), baik sendiri Maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
d)
Saudara laki-laki
seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan sepertiga (1/3) bila
bersama-sama dengan yang lainnya.
e)
Saudara perempuan
seibu: seperenam (1/6), bila hanya sendiri, dan sepertiga (1/3) bila
bersama-sama dengan yang lainnya.
f)
Suami: setengah (1/2),
jika tidak ada keturunan si mayit dan seperempat (1/4), jika adanya keturunan
si mayit.
g)
Istri: seperempat
(1/4), jika tidak ada keturunan mutlaq si mayit, dan seperdelapan (1/8), jika
adanya keturunan mutlak si mayit.
Contoh:
Seseorang
meninggal dunia, meninggalkan 2 anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan
mendapatkan bagian setengah, ibu mendapatkan bagian seperenam[6],
dan ayah mendapatkan bagian seperenam[7]
secara fardh serta sisanya secara ta’shib.
Asal
masalah: 6
Ayah
|
1/6
|
1
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
2 anak perempuan
|
2/3
|
1
|
2. Kelompok
kedua (At-ta’shib saja).
Ahli
waris yang hanya mewarisi secara ta’shib ‘harta sisa dari golongan fardh atau
‘ashabah, berjumlah dua belas, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak
laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari
paman kandung, anak laki-laki dari paman seayah, laki-laki yang memerdekakan
budak, dan perempuan yang memerdekakan budak.
Seluruh
ahli waris yang dua belas ini mewarisi harta peninggalan hanya dengan jalan
ta’shib, dan tidak dapat mewarisi dengan jalan fardh selama-lamanya. Karenanya,
ketika salah satu dari mereka sendirian dalam mewarisi harta peninggalan, maka
dia akan mewarisi seluruh harta tersebut secara ta’shib, atau dia mewarisi sisa
harta waris setelah dibagikan kepada ash-habul furudh ‘golongan yang menerima
secara fardh terlebih dahulu.
3. Kelompok
Ketiga (Fardh dan Ta’shib bergabung).
Ahli
waris yang sewaktu-waktu dapat mewarisi dengan jalan fardh, ta’shib, atau
kedua-duanya (fardh dan ta’shib). Ahli waris ini adalah ayah dan kakek.
Keduanya dapat mewarisi harta dengan jalan fardh, yakni mendapatkan bagian
seperenam, ketika tidak bersama dengan keturunan laki-laki si mayit. Namun,
keduanya juga dapat mewarisi dengan cara ta’shib, yakni ketika mereka tidak
bersama-sama dengan keturunan si mayit secara mutlak.
Contoh:
(mewarisi dengan jalan
fardh dan ta’shib secara bersamaan). Seseorang meninggal dunia, meninggalkan
anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian setengah, ibu
mendapatkan bagian seperenam, dan ayah mendapatkan bagian seperenam secara fardh
serta sisanya secara ta’shib.
Asal masalah: 6
Ayah
|
1/6+sisa
|
1 secara fard+ secara ta’shib=2
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
Anak perempuan
|
½
|
3
|
4. Kelompok Keempat (Fardh dan Ta’shib terpisah)
Ahli
waris yang mewarisi dengan jalan fardh pada suatu ketika, dan di saat lain
mewarisi dengan jalan ta’shib. Ahli waris semacam ini ada empat orang, yaitu
anak perempuan seorang atau lebih, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
seorang atau lebih, saudara perempuan seorang kandung atau lebih; saudara
perempuan seayah seorang atau lebih.
Jika
tidak, empat orang tadi disebut sebagai kelompok ahli waris yang mendapatkan
bagian separuh (1/2) dan dua per tiga (2/3).
Mereka dapat mewarisi harta peninggalan dengan jalan fardh, jika mereka tidak
bersama ahli waris yang meng’ashabah-kan (menyisakan) mereka.[8]
Sedangkan bagian tetap mereka adalah separuh (1/2) jika sendiri dan du per tiga
(2/3) jika bersamaan. Mereka juga mendappatkan bagian hak waris secara lunak,
jika terdapat ahli waris yang menyisakan (‘ashabah) untuk mereka. Akan tetapi,
mereka tidak menyatu dalam waris-mewarisi secara fardh dan waris-mewarisi
secara ta’shib.
Contoh:
a. (mewarisi
secara fardh) seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan dan
paman, maka anak perempuan mendapat bagian setengah (1/2) secara fardh,
sedangkan paman mendapatkan sisa secara lunak (ta’shib). Contoh lain, seorang
meninggal, meninggalkan 2 orang anak perempuan dan saudara laki-laki sekandung,
maka 2 orang anak perempuan mendapatkan bagian 2/3, sedangkan saudara laki-laki
sekandung mendapatkan sisa menurut ta’shib.
Contoh pertama: Asal masalah 2
Anak perempuan
|
½
|
1
|
Paman
|
Sisa
|
1
|
Contoh kedua: Asal masalah 3
Anak perempuan
|
2/3
|
2 secara fardh
|
Saudara laki-laki sekandung
|
Sisa
|
1
dari sisa
|
b. (mewarisi
secara ta’shib) seorang meninggal dunia, meninggalkan istri, satu orang anak
perempuan, dan satu orang anak laki-laki, maka istri mendapatkan bagian
seperdelapan (1/8). Sedangkan anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan
sisa pembagian menurut bagian lunak. Ta’shib di sini disebut dengan ta’shib bil
ghoir ‘setiap perempuan yang membutuhkan orang lain untuk menjadikan ‘ashabah’.
Urutan Para Ahli Waris
dalam Menerima Warisan
1.
Ashabul Furudh.
Yang
dikatakan shahibul fardh atau shahibatul fardh adalah “orang yang mempunyai
bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash Al-Qur’an[9],
As-Sunnahatau Al-Ijma”. Selain mereka tidak ada yang berhak atas harta
peninggalan.
Jumlah
mereka ada dua belas. Empat orang lelaki, yaitu suami, ayah, kakek, dan saudara
laki-laki seibu. Delapan orang dari para wanita, yaitu: istri, ibu, anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun betapa rendah derajat
dan nenek walaupun betapa tingginya. Dan merekalah yang harus didahulukan dalam
pembagian harta warisan.
2.
Ashabah Nasabiyah
(ta’shib).
Yang
dikatakan ashib nasabi adalah “kerabat lelaki yang mempunyai hubungan darah
dengan seseorang, bukan dengan perantaan wanita saja, baik mempunyai hubungan
langsung tanpa perantaraan, seperti anak lelaki dan ayah, atau perantaraan
lelaki saja atau perantaraan seayah dan cucu lelaki dari anak lelaki, atau
dengan perantaraan dan perempuan bersama-sama, seperti saudara laki-laki
sekandung.
Sisa
harta warisan sesudah diberikan kepada ashabul furudh menurut ketentuan
masing-masing, diambil oleh ashib nasabi. Apabila furudh menghabiskan semua
harta warisan, maka ashib nasabi tidak menerima apa-apa. Apabila tidak ada
ashib fardh atau ada, tetapi terhalang dengan adanya ashib, maka ashib nasabi
mengambil semua harta warisan jika ia seorang diri dan dibagi sama rata
diantara mereka jika ashib itu berbilang dan sama derajat kekerabatannya.
3.
Dzawur Raddi
Yang
dikatakan dzawur raddi atau ashabur raddi adalah orang yang dikembalikan lagi
harta warisan kepadanya, yaitu ashabul furudh nasabiyah yang selain dari ayah
dan kakek. Karena itu apabila ada sisa dari harta warisan sesudah diberikan
bagian-bagian ashabul furudh dan tidak ada ashib nasabi yang berhak menerima
sisa, maka sisa harta itu dikembalikan kepada ashabul furudh nasabiyah selain
dari ayah dan kakek berdasarkan bagian mereka masing-masing karena mereka
berdua mengambil sisa harta dengan jalan ta’shib. Karena suami istri tidak
dikembalikan sisa warisan, suami-istri tidak mendapat hak bersama-sama ashabul
furudh nasabiyah yang lain, karena mengembalikan harta pusaka kepada suami
istri dilakukan di waktu tidak ada ahli waris yang dekat.
Contoh:
Apabila
seorang meninggal dengan meninggalkan ibu dan saudara lelaki seibu, maka ibu
mendapat sepertiga dengan jalan fardh dan saudara lelaki seibu mendapat
seperenam dengan jalan fardh. Karenanya tinggallah sisa setengah harta. Sisa
itu dikembalikan kepada mereka berdua menurut saham mereka masing-masing.
4.
Dzawul Arham
Yaitu
orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi
mereka tidak masuk ke dalam golongan ashabul furudh dan tidak juga ke dalam
golongan ashabah, seperti cucu perempuan dari anak perempuan, cucu lelaki dari
anak perempuan, anak perempuan dari saudara lelaki kandung, anak lelaki dari
saudara perempuan kandung, dan seperti saudara ayah yang perempuan, saudara ibu
yang lelaki dan yang perempuan.
Apabila
orang yang meninggal tidak meninggalkan kerabat yang ashib dan tidak juga
shahib fardh, maka dzawul arham[10]mengambil
semua harta warisan tersebut. Adapun apabila diperoleh salah seorang dari suami
istri, maka mereka mengambil fardhu-nya dan sisa harta diambil oleh dzawul
arham, yaitu setengah harta di waktu bersama suami dan tiga perempat di waktu
ada istri.
Mengembalikan
sisa harta kepada salah seorang dari suami-istri yaitu ketika tidak ada kerabat
yang menjadi waris, tidak ada dari ashabul furudh, tidak ada dari ashabah, dan
tidak ada dzawul arham. Maka apabila yang menerima pusaka hanya suami atau
istri, maka segala harta waris jatuh kepada mereka dengan jalan fardh dan jalan
radd.
5.
Ashib Sababi
Yaitu
mu’tiq[11]
(orang yang memerdekakan budak), baik laki-laki ataupun perempuan.
Adapun contoh kasusnya
adalah sebagai berikut:
Pak
Soleh meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut : seorang istri (bernama
Maisaroh), seorang anak laki-laki (bernama Bambang), dan seorang anak perempuan
(bernama Ita). Harta warisnya senilai Rp 500 juta. Berapakah perhitungan bagian
ahli waris masing-masing?
Jawab
:
Dalam
hukum waris Islam, istri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang
mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat 1/4
(seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8
(seperdelapan) jika mempunyai anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah
fil Faraidh, hal. 7).
Dalam
kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian istri adalah 1/8 (seperdelapan)
sesuai dalil Al-Qur`an :
فَإِنْ
كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“Jika
kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan…” (QS An-Nisaa’: 12).
Sedangkan
seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan adalah ashabah, yaitu ahli
waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu
kepada ash-habul furudh.
Kedua
anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8 (tujuh perdelapan), berasal dari
harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).
Selanjutnya
bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi kepada kedua anak tersebut dengan
ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuai
dalil Al-Qur`an :
يُوْصِيْكُمُ
اللهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأْنُْثَيَيْنِ
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu :
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS
An-Nisaa’: 11)
Maka
bagian Ita = 1 bagian dan bagian Bambang = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi
(7/8) akan dibagi menjadi 3 bagian (dari penjumlahan 1 + 2 ). Atau penyebutnya
adalah 3. Jadi bagian Ita = 1/3 dari 7/8 = 1/3 X 7/8 = 7/24 (tujuh
perduaempat), dan bagian Bambang = 2/3 dari 7/8 = 2/3 X 7/8 = 14/24 (empat
belas perduaempat).
Berdasarkan
perhitungan di atas, maka bagian Ibu Maisaroh (istri) = 1/8 X Rp 500 juta = Rp
62,5 juta. Bagian Ita = 7/24 x Rp 500 juta = Rp 145,83 juta. Sedangkan bagian
Bambang adalah = 14/24 x Rp 500 juta = Rp 291, 67 juta.
[1]Radd jumlah bagian para ahli-waris boleh jadi lebih kecil dari satu
atau nilai jumlah saham lebih kecil dari nilai asal masalah.”Hukum Waris
Islam”, Prof.Dr.H.R.Otje Salman S., S.H. dan Mustofa Haffas, S.H. hal, 72
[2]’Aul jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu
atau jumlah saham lebihbesar dari asal masalah.
[3]penyebut (asal masalah).”’Iddatul Al-Faro’id fil Mirats” Pondok pesantren sidogir
[4]menerima harta warisan secara tetap
[5]sisa dari fardh
[6]Lihat QS.An-Nissa’: 11
[7]Lihat QS.An-Nissa’: 11
[8]Syarh asy-Syansyuriy`ala ar-Rahbiyyah, hlm. 114; al-Fawa`id al-Jaliyyah
karya Ibnu Baz, hlm. 9-10; dan al-`Adzb al-Fa`idh, juz I, hlm. 46.
[9]Lihat QS.An-Nisaa’: 7, 11, 12, 176
[10]Dzawul Arham member pusaka/warisan dengan jalan rahim.”Fiqh Mawarits
Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam”. Prof. Dr. Teungku Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy. Hlm. 54
[11]Mu’tiq orang yang memerdekakan budak pada zaman rosul, tetapi sekarang
tidak ada lagi.
Referensi:
Komite Fakultas
Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. 2011. Hukum Waris. Diterjemahkan oleh H. Addys Aldizar, LC dan
H. Fathurrahman, LC. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
0 comments:
Post a Comment