Sunday, May 22, 2016

HUKUM WARIS



HUKUM WARIS


Kaidah Hitung Pewarisan dalam Islam
·                Al-Furudh Al-Muqaddarah
Hisab adalah cara untuk dapat menetapkan bilangan yang tidak pecah yang paling kecil yang keluar saham-saham yang telah ditetapkan dan men-ta’shib-kan masalah.Dalam penghitungan hak waris setiap ahli waris, maka kita juga harus mengetahui bagian-bagian yang telah ditentukan bagi setiap ahli waris atau disebut juga Furudhul Muqaddarah, bagian-bagian tersebut telah ditentukan secara syar’i bagi ahli waris tertentu. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd[1] dan tidak kurang, kecuali dengan jalan ’aul[2].
Di dalam al-Qur’an, kata furudh muqaddarah (yaitu pembagian ahli waris secara fardh yang telah ditentukan jumlahnya) merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu separuh (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3).
Dalil setengah (1/2) adalah firman Allah swt., ”Jika anak adam itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (an-Nisaa’ :11); ”bagimu (suami-suami) satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu.” (an-Nisaa’: 12); dan ayat, ”jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” (an-Nisaa’: 176).
Dalil sepertiga (1/3), adalah firman Allah swt., ”jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh bapak ibunya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” (an-Nisaa’: 11) dan ayat, ”Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (an-Nisaa’: 12).
Dalil seperempat (1/4), adalah firman Allah swt.,”jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” (an-Nisaa’: 12) dan ayat,”para istri memperoleh seperempat harta dari yang kamu tinggalkan...” (an-Nisaa’: 12).
Dalil seperenam (1/6), adalah firman Allah swt.,”untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.” (an-Nisaa’: 11); ”jika yang mennggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.” (an-Nisaa’: 11); dan ayat,”jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seoarang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (an-Nisaa’: 12).
Dalil seperdelapan (1/8), adalah firman Allah swt.,”jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (an-Nisaa’: 12).
Dalil dua pertiga (2/3), adalah firman Allah swt.,”jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (an-Nisaa’: 11); dan ayat,”tapi, jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduannya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.” (an-Nisaa’: 176).
Dalam mengurutkan atau menghitung furudh muqaddarah, para ulama mempunyai dua metode, yaitu tadalliy’ ’menurun’ dan taraqqiy ’menaik’. Adapun yang dimaksud dengan tadalliy’ adalah menyebutkan fardh paling atas terlebih dahulu, lalu turun ke fardh yang lebih rendah. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah di dalam al-Quran, yaitu dua pertiga, seperdua,  seperdua dari dua pertiga dan separuh, kemudian dari setengahnya dua pertiga dan separuh, dan seterusnya, atau kita menyebutnya dua pertiga, setengah dari dua per tiga, dan seperempat dari dua per tiga, kemudian seperdua, setengahnya seperdua, dan seperempatnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan metode taraqqiy adalah menyebutkan fardh yang lebih rendah terlebih dahulu, lalu terus ke atas. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah, yaitu seperdelapan, seperenam, dua kali lipat seperdelapan dan seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperdelapan, dan seperenam, atau kita bisa katakan seperdelapan, dua kali lipat seperdelapan, seperenam, dua kali lipat seperenam, dan dua kali lipatnya dari dua kali lipat seperenam.
Dari kedua metode di atas (tadalliy’ dan taraqqy) terdapat metode ketiga yang lebih ringkas dari kedua metode di atas, yaitu metode tawassuth ’menengah’, yaitu dengan menyebutkan bagian fardh yang tengah lebih dahulu, lalu menaik dan menurun. Misalnya, kita menyebutkan furudhul muqaddarah, yaitu seperempat, sepertiga, dua kali lipat dari seperempat dan sepertiga serta seperdua dari seperempat dan sepertiga atau kita bisa katakan seperempat, dua kali lipat dari seperempat dan setengah dari seperempat, serta sepertiga, dua kali lipat dari sepertiga dan setengah dari sepertiga.
·                Asal Masalah
Asal masalah merupakan suatu cara untuk menemukan porsi bagian masing-masing ahli waris dengan cara menyamakan nilai ”penyebut[3]” dari semua bagian para ahli waris. Acuan yang dapat digunakan untuk menentukan asal masalah tidak jauh dari angka-angka berikut ”2, 3, 4, 6, 8, 12, 24” seperti sebagai berikut:
Jika nilai penyebut bagian para ahli waris adalah sama, maka nilai penyebut bagian para ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2 dengan 1/2, maka asal masalahnya adalah 2.
Jika nilai penyebut bagian salah satu ahli waris dapat dibagi oleh nilai penyebut bagian para ahli waris lainnya, maka nilai penyebut bagian ahli waris pertama tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/2 dengan 1/6, maka asal masalahnya adalah 6.
Jika nilai penyebut bagian para ahli waris tidak sama dan nilai bagian salah satu ahli waris tidak dapat dibagi oleh nilai penyebut bagian para ahli waris lainnya, maka nilai kelipatan persekutuan terkecil dari nilai penyebut para ahli waris tersebut dijadikan sebagai nilai asal masalah. Misalnya 1/4 dengan 2/3, maka asal masalahnya adalah 12.
·                ’Aul
Jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu atau jumlah saham lebih besar dari asal masalah. Dalam kondisi seperti itu, bagian waris setiap ahli waris tidak mungkin didasarkan kepada nilai harta peninggalan secara mutlak karna itu tidak akan mencukupi. Oleh sebab itu, maka bagian waris para ahli waris harus dimodifikasi dengan cara membagi waris masing-masing oleh jumlah warisan (bukan oleh asal masalah). Penetapan bagian waris dengan cara menetapkan nilai jumlah waris, yang lebih besar dari nilai asal masalah, sebagai asal masalah dinamakan ’Aul.
Masalah: seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari janda, ibu, bapak, dan dua anak perempuan.




Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Saham
Bapak
1/6
24
4
Ibu
1/6
24
4       >     27
2anak perempuan
2/3
24
16
Janda Perempuan
1/8
24
3

·                Radd
Jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih kecil dari satu atau nilai jumlah saham lebih besar dari nilai asal masalah. Dengan kata lain adalah terdapat ’ashobah (sisa).
Masalah: seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari istri, ibu, bapak, dan satu anak perempuan.
Ahli waris
Bagian
Asal masalah
Saham
Bapak
1/6
24
8
Ibu
1/6
24
8
Anak perempuan
1/2
24
12
Istri
1/8
24
3


Jumlah<
23
           
Cara Mewariskan dan Pengelompokan Ahli waris
·                Cara Mewariskan
Untuk membagikan atau memberikan warisan kepada ahli waris si mayit, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu fardh[4]dan ta’shib atau ‘ashabah[5]. Mewariskan secara fardh, yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan, seperti setengah, seperempat, seperdelapan, dua per tiga, sepertiga, dan seperenam. Adapun yang dimaksud dengan mewariskan secara ta’shib, yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris, yang besar bagiannya tidak ditentukan, atau biasa disebut dengan bagian lunak. Dalam satu kasus, ahli waris ‘ashabah bisa mewarisi seluruh harta si mayit, jika ia sendirian. Dalam kasus lain, ia bisa mewarisi sisa, setelah bagian ashabul furudh diberikan.
·                Pengelompokan Ahli Waris.
1.             Kelompok Pertama (Al-fardh saja).
Ahli waris yang hanya mewarisi secara fardh (yang menerima bagian tetap), berjumlah tujuh orang, yaitu ibu, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek dari ibu, nenek dari ayah, suami, dan istri.  
Sementara itu, bagian tetap (fardh) dari setiap ahli waris di atas adalah sebagai berikut:
a)             Ibu: seperenam (1/6) atau sepertiga (1/3) utuh, atau sepertiga (1/3) sisa.
b)            Nenek dari pihak ayah: seperenam (1/6), baik sendiri maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
c)             Nenek dari pihak ibu: seperenam (1/6), baik sendiri Maupun bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
d)            Saudara laki-laki seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan sepertiga (1/3) bila bersama-sama dengan yang lainnya.
e)             Saudara perempuan seibu: seperenam (1/6), bila hanya sendiri, dan sepertiga (1/3) bila bersama-sama dengan yang lainnya.
f)             Suami: setengah (1/2), jika tidak ada keturunan si mayit dan seperempat (1/4), jika adanya keturunan si mayit.
g)            Istri: seperempat (1/4), jika tidak ada keturunan mutlaq si mayit, dan seperdelapan (1/8), jika adanya keturunan mutlak si mayit.
Contoh:
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan 2 anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian setengah, ibu mendapatkan bagian seperenam[6], dan ayah mendapatkan bagian seperenam[7] secara fardh serta sisanya secara ta’shib.
Asal masalah: 6
Ayah
1/6
1
Ibu
1/6
1
2 anak perempuan
2/3
1

2.      Kelompok kedua (At-ta’shib saja).
Ahli waris yang hanya mewarisi secara ta’shib ‘harta sisa dari golongan fardh atau ‘ashabah, berjumlah dua belas, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman kandung, anak laki-laki dari paman seayah, laki-laki yang memerdekakan budak, dan perempuan yang memerdekakan budak.
Seluruh ahli waris yang dua belas ini mewarisi harta peninggalan hanya dengan jalan ta’shib, dan tidak dapat mewarisi dengan jalan fardh selama-lamanya. Karenanya, ketika salah satu dari mereka sendirian dalam mewarisi harta peninggalan, maka dia akan mewarisi seluruh harta tersebut secara ta’shib, atau dia mewarisi sisa harta waris setelah dibagikan kepada ash-habul furudh ‘golongan yang menerima secara fardh terlebih dahulu.
3.      Kelompok Ketiga (Fardh dan Ta’shib bergabung).
Ahli waris yang sewaktu-waktu dapat mewarisi dengan jalan fardh, ta’shib, atau kedua-duanya (fardh dan ta’shib). Ahli waris ini adalah ayah dan kakek. Keduanya dapat mewarisi harta dengan jalan fardh, yakni mendapatkan bagian seperenam, ketika tidak bersama dengan keturunan laki-laki si mayit. Namun, keduanya juga dapat mewarisi dengan cara ta’shib, yakni ketika mereka tidak bersama-sama dengan keturunan si mayit secara mutlak.
Contoh:
(mewarisi dengan jalan fardh dan ta’shib secara bersamaan). Seseorang meninggal dunia, meninggalkan anak perempuan, ibu, ayah, maka anak perempuan mendapatkan bagian setengah, ibu mendapatkan bagian seperenam, dan ayah mendapatkan bagian seperenam secara fardh serta sisanya secara ta’shib.
Asal masalah: 6
Ayah
1/6+sisa
1 secara fard+ secara ta’shib=2
Ibu
1/6
1
Anak perempuan
½
3

4.       Kelompok Keempat (Fardh dan Ta’shib terpisah)
Ahli waris yang mewarisi dengan jalan fardh pada suatu ketika, dan di saat lain mewarisi dengan jalan ta’shib. Ahli waris semacam ini ada empat orang, yaitu anak perempuan seorang atau lebih, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih, saudara perempuan seorang kandung atau lebih; saudara perempuan seayah seorang atau lebih.
Jika tidak, empat orang tadi disebut sebagai kelompok ahli waris yang mendapatkan bagian separuh (1/2) dan dua per tiga (2/3). Mereka dapat mewarisi harta peninggalan dengan jalan fardh, jika mereka tidak bersama ahli waris yang meng’ashabah-kan (menyisakan) mereka.[8] Sedangkan bagian tetap mereka adalah separuh (1/2) jika sendiri dan du per tiga (2/3) jika bersamaan. Mereka juga mendappatkan bagian hak waris secara lunak, jika terdapat ahli waris yang menyisakan (‘ashabah) untuk mereka. Akan tetapi, mereka tidak menyatu dalam waris-mewarisi secara fardh dan waris-mewarisi secara ta’shib.
Contoh:
a.       (mewarisi secara fardh) seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan dan paman, maka anak perempuan mendapat bagian setengah (1/2) secara fardh, sedangkan paman mendapatkan sisa secara lunak (ta’shib). Contoh lain, seorang meninggal, meninggalkan 2 orang anak perempuan dan saudara laki-laki sekandung, maka 2 orang anak perempuan mendapatkan bagian 2/3, sedangkan saudara laki-laki sekandung mendapatkan sisa menurut ta’shib.
Contoh pertama:        Asal masalah 2
Anak perempuan
½
1
Paman
Sisa
1

Contoh kedua:        Asal masalah 3
Anak perempuan
2/3
2 secara fardh
Saudara laki-laki sekandung
Sisa
1        dari sisa

b.      (mewarisi secara ta’shib) seorang meninggal dunia, meninggalkan istri, satu orang anak perempuan, dan satu orang anak laki-laki, maka istri mendapatkan bagian seperdelapan (1/8). Sedangkan anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan sisa pembagian menurut bagian lunak. Ta’shib di sini disebut dengan ta’shib bil ghoir ‘setiap perempuan yang membutuhkan orang lain untuk menjadikan ‘ashabah’.
Urutan Para Ahli Waris dalam Menerima Warisan
1.              Ashabul Furudh.
Yang dikatakan shahibul fardh atau shahibatul fardh adalah “orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash Al-Qur’an[9], As-Sunnahatau Al-Ijma”. Selain mereka tidak ada yang berhak atas harta peninggalan.
Jumlah mereka ada dua belas. Empat orang lelaki, yaitu suami, ayah, kakek, dan saudara laki-laki seibu. Delapan orang dari para wanita, yaitu: istri, ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun betapa rendah derajat dan nenek walaupun betapa tingginya. Dan merekalah yang harus didahulukan dalam pembagian harta warisan.
2.             Ashabah Nasabiyah (ta’shib).
Yang dikatakan ashib nasabi adalah “kerabat lelaki yang mempunyai hubungan darah dengan seseorang, bukan dengan perantaan wanita saja, baik mempunyai hubungan langsung tanpa perantaraan, seperti anak lelaki dan ayah, atau perantaraan lelaki saja atau perantaraan seayah dan cucu lelaki dari anak lelaki, atau dengan perantaraan dan perempuan bersama-sama, seperti saudara laki-laki sekandung.
Sisa harta warisan sesudah diberikan kepada ashabul furudh menurut ketentuan masing-masing, diambil oleh ashib nasabi. Apabila furudh menghabiskan semua harta warisan, maka ashib nasabi tidak menerima apa-apa. Apabila tidak ada ashib fardh atau ada, tetapi terhalang dengan adanya ashib, maka ashib nasabi mengambil semua harta warisan jika ia seorang diri dan dibagi sama rata diantara mereka jika ashib itu berbilang dan sama derajat kekerabatannya.
3.             Dzawur Raddi
Yang dikatakan dzawur raddi atau ashabur raddi adalah orang yang dikembalikan lagi harta warisan kepadanya, yaitu ashabul furudh nasabiyah yang selain dari ayah dan kakek. Karena itu apabila ada sisa dari harta warisan sesudah diberikan bagian-bagian ashabul furudh dan tidak ada ashib nasabi yang berhak menerima sisa, maka sisa harta itu dikembalikan kepada ashabul furudh nasabiyah selain dari ayah dan kakek berdasarkan bagian mereka masing-masing karena mereka berdua mengambil sisa harta dengan jalan ta’shib. Karena suami istri tidak dikembalikan sisa warisan, suami-istri tidak mendapat hak bersama-sama ashabul furudh nasabiyah yang lain, karena mengembalikan harta pusaka kepada suami istri dilakukan di waktu tidak ada ahli waris yang dekat.
Contoh:
Apabila seorang meninggal dengan meninggalkan ibu dan saudara lelaki seibu, maka ibu mendapat sepertiga dengan jalan fardh dan saudara lelaki seibu mendapat seperenam dengan jalan fardh. Karenanya tinggallah sisa setengah harta. Sisa itu dikembalikan kepada mereka berdua menurut saham mereka masing-masing.
4.             Dzawul Arham
Yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi mereka tidak masuk ke dalam golongan ashabul furudh dan tidak juga ke dalam golongan ashabah, seperti cucu perempuan dari anak perempuan, cucu lelaki dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara lelaki kandung, anak lelaki dari saudara perempuan kandung, dan seperti saudara ayah yang perempuan, saudara ibu yang lelaki dan yang perempuan.
Apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan kerabat yang ashib dan tidak juga shahib fardh, maka dzawul arham[10]mengambil semua harta warisan tersebut. Adapun apabila diperoleh salah seorang dari suami istri, maka mereka mengambil fardhu-nya dan sisa harta diambil oleh dzawul arham, yaitu setengah harta di waktu bersama suami dan tiga perempat di waktu ada istri.
Mengembalikan sisa harta kepada salah seorang dari suami-istri yaitu ketika tidak ada kerabat yang menjadi waris, tidak ada dari ashabul furudh, tidak ada dari ashabah, dan tidak ada dzawul arham. Maka apabila yang menerima pusaka hanya suami atau istri, maka segala harta waris jatuh kepada mereka dengan jalan fardh dan jalan radd.
5.             Ashib Sababi
Yaitu mu’tiq[11] (orang yang memerdekakan budak), baik laki-laki ataupun perempuan.

Adapun contoh kasusnya adalah sebagai berikut:
Pak Soleh meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut : seorang istri (bernama Maisaroh), seorang anak laki-laki (bernama Bambang), dan seorang anak perempuan (bernama Ita). Harta warisnya senilai Rp 500 juta. Berapakah perhitungan bagian ahli waris masing-masing?
Jawab :
Dalam hukum waris Islam, istri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyai anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7).
Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian istri adalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an :
فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” (QS An-Nisaa’: 12).
Sedangkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan adalah ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu kepada ash-habul furudh.
Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8 (tujuh perdelapan), berasal dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).
Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi kepada kedua anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuai dalil Al-Qur`an :
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأْنُْثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS An-Nisaa’: 11)
Maka bagian Ita = 1 bagian dan bagian Bambang = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi (7/8) akan dibagi menjadi 3 bagian (dari penjumlahan 1 + 2 ). Atau penyebutnya adalah 3. Jadi bagian Ita = 1/3 dari 7/8 = 1/3 X 7/8 = 7/24 (tujuh perduaempat), dan bagian Bambang = 2/3 dari 7/8 = 2/3 X 7/8 = 14/24 (empat belas perduaempat).
Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian Ibu Maisaroh (istri) = 1/8 X Rp 500 juta = Rp 62,5 juta. Bagian Ita = 7/24 x Rp 500 juta = Rp 145,83 juta. Sedangkan bagian Bambang adalah = 14/24 x Rp 500 juta = Rp 291, 67 juta.


[1]Radd jumlah bagian para ahli-waris boleh jadi lebih kecil dari satu atau nilai jumlah saham lebih kecil dari nilai asal masalah.”Hukum Waris Islam”, Prof.Dr.H.R.Otje Salman S., S.H. dan Mustofa Haffas, S.H. hal, 72
[2]’Aul jumlah bagian para ahli waris boleh jadi lebih besar dari satu atau jumlah saham lebihbesar dari asal masalah.
[3]penyebut (asal masalah).”’Iddatul Al-Faro’id  fil Mirats” Pondok pesantren sidogir
[4]menerima harta warisan secara tetap
[5]sisa dari fardh
[6]Lihat QS.An-Nissa’: 11

[7]Lihat QS.An-Nissa’: 11
[8]Syarh asy-Syansyuriy`ala ar-Rahbiyyah, hlm. 114; al-Fawa`id al-Jaliyyah karya Ibnu Baz, hlm. 9-10; dan al-`Adzb al-Fa`idh, juz I, hlm. 46.
[9]Lihat QS.An-Nisaa’: 7, 11, 12, 176
[10]Dzawul Arham member pusaka/warisan dengan jalan rahim.”Fiqh Mawarits Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam”. Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Hlm. 54
[11]Mu’tiq orang yang memerdekakan budak pada zaman rosul, tetapi sekarang tidak ada lagi.



Referensi:
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. 2011. Hukum Waris.  Diterjemahkan oleh H. Addys Aldizar, LC dan H. Fathurrahman, LC. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.

0 comments:

Post a Comment